"Harus (segera diubah)," kata Prof Harkristuti usai mengikuti seminar di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (12/11/2015).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dalam Pasal 9 ayat 1 disebutkan korban peradilan sesat diberi ganti rugi minimal Rp 5 ribu dan maksimal Rp 1 juta. Jika korban mengalami cacat atau meninggal dunia, maka negara cukup mengganti maksimal Rp 3 juta. PP ini ditandatangani pada 31 Desember 1983.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu korbannya adalah ibu rumah tangga di Semarang, Sri Mulyati. Ia dipenjara 13 bulan dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur. Sri lalu dibebaskan di tingkat kasasi karena ternyata ia hanya dijadikan tumbal oleh atasannya. Lantas ia meminta ganti rugi kepada negara dan hanya diberi ganti rugi Rp 5 juta, di mana hakim menyimpangi 4 juta dari batas minimal. Sayang, ganti rugi itu belum kunjung cair hingga hari ini.
"(Ganti ruginya) harus dikonversikan dengan nilai saat ini," ucap Prof Tuti.
Melihat dinamika hukum yang sudah sangat jauh melangkah, Ditjen Peraturan Perundang-undangan (PP) Kemenkum HAM lalu melakukan kajian terhadap kasus-kasus serupa dan meneruskan permasalahan itu ke meja Presiden Jokowi.
Atas hal ini, Presiden Jokowi memerintahkan segera merevisi PP 27 itu dan dituangkan dalam Surat Mensesneg yang ditujukan kepada Menkum HAM. Mendapat perintah di atas, Kemenkum HAM langsung bekerja maraton. Dirjen PP Prof Dr Widodo Ekatjahjana berjanji secepatnya menyelesaikan PR besar bangsa Indonesia itu.
"Diharapkan dengan kesadaran bersama untuk memberikan perlindungan HAM bagi masyarakat sebagaimana amanat UUD 1945, maka tanggal 10 Desember saat Peringatan Hari HAM Internasional, perubahan PP 27/1983 ini dapat diundangkan," ucap Widodo berjanji. (asp/van)