"Pewarna kimia memang lebih cerah dari pewarna alami. Tapi berbahaya untuk penenun," kata salah satu penenun kain di Sikka Yustina Nei saat berbincang dengan detikcom di acara pemecahan rekor MURI pembuatan tenun terbanyak di Maumere, NTT, Rabu (11/11).
Yustina adalah 1 di antara banyak penenun kain tradisional Sikka yang masih bertahan menggunakan bahan pewarna alami. Kain yang dihasilkannya didominasi warna biru, merah hijau dan putih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yusnita bercerita para penenun di desanya pernah menggunakan bahan pewarna kimia. Namun, di tahun 1988 mereka kembali menggunakan bahan pewarna alami karena banyaknya penenun yang hamilΒ akhirnya keguguran karena menghirup bau bahan pewarna.
"Sebelumnya pakai natol (bahan kimia). Tapi kimia bahaya. Kadang ibu-ibu yang mengandung keguguran anak karena sodanya terlalu keras," ucapnya.
Di stand pameran kelompok kerjanya, pada istri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Yustina dan mama-mama penenun memperagakan setiap proses pembuatan kain mulai dari kapas dibuat menjadi benang, pembuatan pola, pewarnaan kain hingga proses menenun kainnya.
Tak lupa mereka juga memamerkan kain hasil tenunan mereka yang didominasi warna biru dan merah atau jingga.
Warna biru didapatkan dari daun nila, warna merah dari akar daun mengkudu atau kulit manggis serta warna hijau dari dedaunan berwarna hijau.
"Kami merasa sedikit membantu dengan pakai bahan alami. Di kebun kami bisa tanam bahannya sendiri. Jadi tidak beli dengan uang. Wisatawan juga lebih banyak yang senang dengan warna alami," terangnya.
Penenun lainnya, Mama Lose dari kelompok penenun kampung Dokar Tawa Tana mengatakan yang membuat banyak penenun menggunakan bahan kimia karena proses pewarnaannya yang tak lama.
Jika menggunakan bahan kimia, mereka hanya perlu mencelup benangnya 4 hingga 5 kali. Berbeda dengan bahan pewarna alami yang butuh waktu berminggu-minggu dengan beberapa tahap pembilasan.
Hal ini tentu saja berdampak pada lama pembuatan kain tenun yang bisa memakan waktu hingga 6 bulan untuk selembar kain tenun ikat khas Sikka. Tak heran, selembar kain Sikka harganya bisa mencapai jutaan rupiah.
![]() |
Lamanya proses pewarnaan itu menurut Mama Lose akan setimpal dengan kualitas kain yang mereka miliki. Warnanya tidak akan luntur dan semakin lama, akan semakin menarik.
"Kalau alami, tidak luntur. Lama-lama kainnya juga semakin bagus," ujar Mama Lose.
Sayangnya, tak banyak bantuan yang diberikan pemerintah daerah. Yusnita mengatakan kelompok kerjanya hanya pernah menerima sekali bantuan bibit pohon mengkudu. Karena jumlah anggotanya mencapai 30 orang, maka tiap orang hanya menerima 4 bibit pohon saja.
Tentu untuk menarik kembali minat para penenun untuk menggunakan pewarna alami menjadi salah satu tugas pemerintah daerah. Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan pemerintah daerah NTTΒ terus mendorong mereka untuk lebih menggunakan bahan alami.
"Sekarang sudah banyak yang beralih ke bahan alami dan akan terus mendorong," ucap Frans. (bil/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini