"Pergub ini koyo opo? Ngatur apa? Larangannya enggak ada, sanksinya enggak ada. Kalau begitu imbau saja," kata Sekretaris Komisi A DRPD DKI yang memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pemprov DKI di gedung DPRD DKI, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (10/11/2015).
RDP ini terkait Pergub 228/2015 tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka. Pergub ini menuai pro kontra khususnya di kalangan buruh, mahasiswa dan beberapa organisasi masyarakat yang kerap melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Pergub yang baru, pendemo diberi keleluasaan berdemo di mana saja serta sanksi dan larangan yang sebelumnya yang dinilai mengekang para pendemo juga dihapuskan.Β Dengan keleluasaan tersebut, maka menurut DPRD DKI dan sejumlah perwakilan organisasi yang hadir Pergub ini lebih baik dihapus.
"Urgensi Pergub ini apa? Kalau ada apa yang terjadi, kalau tidak ada apa yang terjadi? Karena saya tidak melihat Pergub ini perlu ada karena selama ini sudah ada UU No 9/1998 yang mengatur," ucap anggota Komis A DPRD DKI Dite Abimanyu.
"Jangan-jangan Pemprov DKI hanya mau membuat announcement bahwa mereka menyediakan 3 lokasi ini dengan beberapa fasilitas?," sambungnya.
Namun, hal ini dibantah perwakilan Biro Hukum Pempro DKI Waryono yang hadir. Ia mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban Pemprov DKI untuk mengatur pelaksanaan demo di Jakarta dengan bekerja sama dengan instansi terkait seperti kepolisian.
"Kalau tidak ada, gimana? Ada masalah karena kalau tidak ada, parkir kendaraan tidak rapi karena Pergub ini mengatur secara spesifik," ucap Waryono. (bil/miq)











































