Kasus-kasus yang menjadi contoh kekerasan anak inilah yang memicu perdebatan soal efek jera bagi pelaku kekerasan anak. Usulan soal hukuman kebiri masih menjadi perdebatan panjang.
Topik hukuman kebiri tak luput dalam perdebatan di seminar "Child Domestic Abuse and Harp Healing Performance by Fania Muthia" di Soehanna Hall, The Energy Building Personal Project for Binus School Simprug, Jakarta Selatan, Minggu (8/11/2015.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susanto, wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menuturkan bahwa proses hukum kejahatan anak jarang dipidana maksimal. "Ada yang 5-7 tahun. Makanya kalau muncul wacana ada tambahan kebiri sebenarnya ikhtiar efek cegah dan efek jera" tutur Susanto.
"Negara lain seperti di Jerman sudah menerapkan hukuman kebiri dari tahun 1966, Australia sudah, Inggris, Turki pun juga melakukan hukuman tersebut" tandas Susanto.
Pernyataan ini disanggah oleh Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana dan Praktisi Hukum. Muladi berpendapat bahwa perlunya kajian dan penerapan yang komprehensif. "Pengebirian saya tidak setuju!" tegas Muladi.
Menurutnya terkait vonis hakim yang dianggap terlalu ringan atau tidak maksimal ia menjelaskan ada pedoman pemidanaan. "Adanya pemidanaan rasional bukan pemidanaan emosional. Apa yang bisa diperbaiki, kita harus meninggalkan pemidanaan emosional yang tidak ada pakemnya," imbuh Muladi.
"Dipikirkan dululah. Coba kita bicara pemidanaan yang akademis, coba aja di Arab dirajam batu sampai mati itu, pelanggaran HAM nanti," ucapnya.
Turut hadir dalam seminar Kompol Mumuh Saepuloh, kanit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Metro Jaya; Susanto, Wakil Ketua KPAI; Prof. Dr. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana dan Praktisi Hukum; Prof. Dr. Seto Mulyadi, ketua Umum Komnas Anak; Heidi Awuy, harpist Indonesia.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini