Privatisasi mendoan dengan memberikan hak ekslusif merek 'mendoan' kepada perorangan membuat warga Banyumas, Jawa Tengah, geram. Sebab, privatisasi ini membuka peluang penjual mendoan dengan merek yang mengikutkan kata 'mendoan' digugat, bahkan bisa dipenjara.
Di mana hampir semua pedagang mendoan di Banyumas selalu menambahkan kata mendoan di depan dagangannya. Penolakan privatisasi warga ini berpuncak dengan menggelar Festival Mendoan yang dikoordinir langsung Pemerintah Kabupaten Banyumas, Minggu (8/11/2015) pagi.

"Alhamdulillah, acaranya sukses. Ini menunjukan kebersamaan kita sebagai warga Banyumas dan warga negara cukup tinggi. Hanya karena mendoan saja, warga ramai-ramai menolak," kata Bupati Banyumas, Achmad Husein saat berbincang dengan detikcom pagi ini.
Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan. Sebab merek 'mendoan' melekat untuk tempe mendoan sesungguhnya atau identik dengan tempe sebagaimana tertuang dalam klasifikasi merek Kelas 29. Merek 'mendoan' yang diberikan Ditjen Kekayaan Intelektual (KI) Kemenkum HAM itu bukan untuk jenis barang yang tidak identik, seperti Hotel Mendoan, sepeda motor Mendoan, baju Mendoan atau laptop Mendoan.

"Ini juga menunjukan sense of belongin masyarakat cukup tinggi," ucap Husein.
Dengan adanya privatisasi merek mendoan, maka seluruh orang tidak boleh menjual tempe dengan merek 'mendoan'. Jika masih ada penjual mendoan menggunakan kata 'mendoan' sebagai identitas dagangnya, maka siap-siap menghadapi tuntutan perdata atau pidana pemilik hak merek 'mendoan' tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penolakan warga ini menunjukan cinta tanah air masyarakat Banyumas kepada tumpah darahnya. Sebagai parameter, tolak ukur betapa masyarakat masih sangat cinta terhadap budayanya," ucap Husein.

Kasus merek 'mendoan' ini mengingatkan kepada kasus 'kopitiam'. Di mana kopitiam yang berarti warung kopi, tiba-tiba diprivatisasi oleh perorangan. Sehingga kopitiam/warung kopi yang telah ada, harus mengganti namanya dan dilarang kembali menggunakan kata kopitiam/warung kopi.
"Ini hanya mendoan yang diprivatisasi saja sudah ramai, apalagi kalau Natuna yang diambil Malaysia," ujar Husein.
Penolakan warga ramai di dunia nyata dan dunia maya. Para pedagang di penjuru Purwokerto (ibu kota Banyumas) dan Banyumas khawatir jika dagangannya akan bermasalah. Sebab mereka umumnya mencatumkan kata 'mendoan' sebagai merek dagangnya. Selain itu, netizen juga ramai-ramai menolak privatisasi kata tersebut, baik dalam bentuk kicauan atau meme.
"Kita ambil hikmahnya saja bahwa privatisasi mendoan ini mendorong masyarakat untuk kembali bersama-sama mencintai produk lokal," tutur Husein.
Pemda Banyumas juga tidak berencana 'memprivatisasi' mendoan karena mendoan juga milik masyarakat Banyumasan, seperti warga Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara. Bahkan mendoan kini telah dinikmati ke seluruh Jawa Tengah, Jakarta bahkan hingga Meksiko. Selain itu, merek juga hanya bisa didaftarkan oleh perorangan/badan usaha dengan tujuan komersial.

"Banyak pesan dan hikmah di balik semua ini," tutur Husein.
Berbeda dengan warga Banyumas, Ditjen HKI sebagai otoritas tunggal yang mengeluarkan merek meminta masyarakat untuk tenang dan tidak usah khawatir dengan merek 'mendoan'.
"Masyarakat dapat menggunakan dan memproduksi tempe mendoan tanpa rasa khawatir terhadap tindakan hukum dari pemilik merek terdaftar," demikian lansir Kemenkum HAM dalam siaran pers pada Jumat (6/11) lalu. (asp/fdn)