"Saya dapat memahami dan mendukung pelaksanaan secara efektif kebijakan tersebut menilik beberapa keluhan warga akan adanya kenyataan, terutama di media sosial, yang acap kali mengekspresikan kebencian dalam berkomunikasi," ujar Farouk Muhammad dalam keterangan persnya, Sabtu, (7/11/2015).
Menurut Farouk acap kali pernyataan melalui media sosial dilakukan dengan mendramatisasi fakta, baik yang ditujukan antarperorangan maupun kelompok termasuk antaragama atau ajaran internal agama yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik SARA. Surat edaran tersebut juga dipandang bermanfaat untuk menyikapi persaingan dalam Pilkada dengan jalan saling melontarkan kebencian yang tidak mendasar untuk mendongkrak popularitas pasangan calon. Metode kampanye semacam ini jauh dari nilai-nilai demokrasi dan tujuan mulia Pancasila.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ujaran kebencian itu umumnya berisi penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah dan semacamnya sehingga acap kali dipandang sebagai pasal karet, bahkan rentan menjadi ajang "kriminalisasi".
"Oleh sebab itu, catatan kedua saya, penanganan kasus demikian semestinya tidak didasarkan atas penilaian subyektif penyidik melainkan harus didasarkan atas bukti yang kuat untuk memenuhi unsur pidana. Penanganannya harus transparan serta mengedepankan akuntabilitas publik. Oleh sebab itu, setiap pengusutan kasus ujaran kebencian harus diawasi dengan ketat oleh atasannya," terang Farouk.
Selajutnya Mantan Kapolda Maluku dan Nusa Tenggara Barat (NTB) ini memaparkan, harus ada pembedaan antara ujaran kebencian dan kritik. Pernyataan kritis terhadap pejabat publik harus dapat dilihat sebagai sebuah proses demokrasi yang sehat. Terbitnya surat edaran, dengan demikian, tidak boleh membungkam kebebasan berpendapat dan harus ada jaminan bahwa masyarakat sipil tetap dapat leluasa menyampaikan kritik kepada pemerintah atau pejabat publik.
Perlu digarisbawahi, bahwa seseorang tidak bisa dihukum karena pemikirannya, melainkan atas keberwujudan pemikirannya-yakni bila ia telah merugikan orang lain. Sebaliknya, kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menghujat pihak lain. Sangat memprihatinkan bahwa hujatan terhadap pejabat publik, atau kelompok lain, bahkan acap kali masuk ke ranah privat (pribadi).
"Saya hendak menghimbau kepada segenap komponen bangsa untuk mengakhiri lontaran-lontaran kebencian. Setiap warga negara harus dapat berekspresi secara santun, saling mengkoreksi diri dan saling mengingatkan. Pada saat yang bersamaan, para pejabat negara dan tokoh publik sepatutnya menjadi teladan masyarakat," ujar Farouk.
Dalam demokrasi yang sehat, adalah sebuah kewajiban untuk berekspresi dengan menghormati sesama warga negara, rasional, dan mengedepankan keutuhan bangsa. "Saya berharap, jangan sampai semangat reformasi dalam membangun pemerintahan yang bersih terbelenggu oleh kriminalisasi atau, sebaliknya, ramai oleh ujaran kebencian. Marilah kita bersama-sama memberikan kritik yang sehat dan berkomunikasi secara beradab," tutupnya. (spt/dha)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini