Dua kubu yang berseteru -- dan belum benar-benar berdamai -- kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono cs, silang pendapat soal jalan islah. Agung meminta Golkar menggelar munas untuk memilih ketum baru. Dia bahkan rela tak ikut maju di munas demi munculnya tokoh baru yang diharapkan bisa menyatukan Golkar. Namun, Ical tak mau.
Ical berkukuh dialah Ketum Golkar, dan kepemimpinannya berlaku hingga tahun 2019 nanti. Ical hanya akan mengakomodir munas Golkar yang dilaksanakan di penghujung tahun 2019, usai pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Jalan islah yang sudah ditapaki bersama di Silaturahmi Nasional (Silatnas) Golkar 1 November lalu pun jadi samar. Ical dan Agung masih memilih menapaki jalan berbeda.
Situasi yang sama terjadi sekitar setahun lalu, saat pecahnya Golkar masih berupa retakan-retakan akibat perbedaan pandangan soal munas. Setelah Pilpres 2014 lalu, Agung cs meminta Ical segera menggelar munas Golkar untuk memilih ketum. Ical menolak, Agung cs terus mendesak.
Bulan November 2014, kubu Ical berubah pikiran, demikian juga kubu Agung. Situasi berbalik, Ical ingin segera munas di tahun 2014, Agung cs inginnya di 2015. Dalam satu rapat pleno DPP Golkar, retakan itu pun menjadi pecahan. Berdiri Tim Penyelamat Golkar, Ical 'terusir' dari kantor DPP.
![]() |
Perpecahan itu berlarut-larut panjang, hingga butuh tokoh-tokoh sesepuh Golkar, seperti JK dan Luhut Pandjaitan, turun tangan mendamaikan. Kader-kader senior juga bergerak. Hasilnya, setelah hampir setahun, kubu Ical dan Agung berhasil didudukkan di Silatnas Golkar.
Namun setelah Silatnas, meski situasi membaik dengan pemakaian kantor DPP secara bersama-sama, namun jalan islah itu masih buram. Agung dan Ical masih memiliki pandangan berbeda soal munas, seperti tahun 2014 lalu. Ujung islah yang makin dekat kini menjauh kembali.
(tor/asp)













































