Petang menghampiri perkebunan PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL) di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Di tengah puluhan ribu pohon kelapa sawit ini terdapat sebuah sesudongan, rumah yang didirikan Suku Anak Dalam (SAD). Rumah ini dibangun menggunakan tiang dari batang kayu, beratap plastik, tanpa dinding, dan lantai dari belahan kayu yang disusun rapi. Luas sesudongan ini berkisar 2 x 4 meter.
Sore itu, Betinjo, salah seorang SAD, pulang ke sesudongan. Ia baru saja mencari jernang dan berburu bersama istri dan tiga anaknya yang masih kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak banyak jernang saya peroleh hari ini. Sebenarnya saya juga berburu, tapi hari ini saya tidak mendapatkan binatang buruan," kata Betinjo kepada detikcom beberapa waktu lalu.
![]() |
Mencari jernang dan berburu merupakan pekerjaan sehari-hari keluarga Betinjo. Jernang yang diperoleh kemudian dijual atau ditukar dengan aneka kebutuhan. Sementara, binatang hasil buruan biasanya dimakan sendiri.
Menurut Betinjo, saat ini sangat sulit mencari jernang dan binatang buruan. Padahal, hanya dari menjual atau menukar jernang dirinya mendapatkan kebutuhan hidup, termasuk memberi makan ketiga anaknya .
Betinjo memiliki tiga anak, masing-masing berumur 7, 5, dan 3 tahun. Sayang, Betinjo menolak menyebutkan nama anak-anaknya. Ia beralasan adat tidak membolehkan memberitahukan nama anaknya kepada orang luar SAD.
Dengan keterbatasannya tersebut, Betinjo memberi makan seadanya kepada tiga anaknya. Makanan yang dibuat dari bahan ubi menjadi menu keseharian keluarga ini. Menunya menjadi spesial jika Betinjo mendapatkan binatang buruan, seperti rusa, babi, kancil, dan sejumlah binatang liar lainnya.
"Tapi sekarang sangat jarang bisa mendapatkan binatang buruan. Sangat sulit," ujar Betinjo. Lantas ia membandingkan dengan waktu ketika dirinya masih kecil. Waktu itu, binatang liar sangat banyak. Ia bersama ayahnya sering berburu.
![]() |
"Dulu, hanya dengan tombak, lalu kami bersembunyi di balik pohon, binatang liar akan lewat lalu kami tombak. Sekarang berburu tidak lagi hanya dengan menggunakan tombak, harus menggunakan kecepek," ujar Betinjo. Kecepek adalah senjata api rakitan dan biasa digunakan berburu oleh Orang Rimba.
Menurut Tumenggung Marituha, pimpinan Orang Rimba Kelompok Sungai Terab, sebelum tahun 1980-an, seluruh kawasan di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Bela (TNBD) saat ini masih berupa hutan. Pepohonan masih banyak, begitu juga dengan binatang liar. Saking banyaknya binatang, jika berburu takΒ perlu berlari-lari mengejar binatang buruan.
"Cukup menunggu di balik pohon, ketika ada binatang lewat langsung kita tombak," ujar Marituha.
Namun, sekarang ini kondisinya jauh berbeda. Hutan yang tersisa tinggal di kawasan TNBD dengan luas sekitar 60 ribu hektar. Sementara, sedikitnya 100 ribu hektar hutan di sekitarnya, yang dulunya juga menjadi tempat hidup Orang Rimba, sudah habis dibagi-bagi oleh 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Ada enam perusahaan yang berbatasan langsung dengan TNBD.
Pembabatan hutan ini menyebabkan hilangnya sumber hidup Orang Rimba. Tidak hanya jernang dan binatang buruan, tetapi pohon yang biasanya dijadikan obat-obatan, tempat lebah madu, dan sumber buah-buahan juga musnah digantikan pohon kelapa sawit dan tanaman HTI.
Akibatnya, Orang Rimba tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara layak. Gizi yang diperoleh pun tidak mencukupi. Tidak mengherankan, jika banyak anak Orang Rimba yang kurus dan kurang sehat.
Menurut Manajer Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf, ada tiga kategori Orang Rimba. Pertama, Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan. Mereka menempati Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). TNBD terletak di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Batanghari. TNBT terletak di perbatasan Provinsi Jambi dan Riau.
![]() |
Kelompok ini tidak tinggal menetap, hidup menggantungkan hutan, dan nyaris tidak bersentuhan dengan kehidupan luar hutan. Jumlah mereka terbesar mencapai ribuan orang.
Kategori kedua adalah Orang Rimba yang tinggal di kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
"Mereka bertahan karena di tempat itu leluhur, kakek, dan orangtua tinggal. Namun, kini tempat itu sekarang sudah menjadi konsesi perusahaan, dijadikan perkebunan sawit dan HTI," ujar Rudi Syaf kepada detikcom, Selasa (3/10/2015).
Betinjo adalah salah satu anggota kelompok ini. Kelompok tersebut juga tidak menetap. Masih menggantungkan hidup dengan berburu dan mencari getah jernang.
"Kelompok ini yang paling kasihan. Hidup mereka terlunta-lunta. Di kelompok mereka banyak terjadi gizi buruk," ungkap Rudi Syaf.
Kelompok ketiga adalah Orang Rimba yang menetap di desa. Mereka tidak berpindah-pindah lagi dan sudah berinteraksi dengan masyarakat desa. Kelompok ini tinggal di rumah-rumah yang dibangunkan pemerintah.
"Meski demikian, sebagian besar dari mereka masih menjalan tradisi dan kepercayaannya. Salah satunya, jika ada anggota keluarga meninggal dunia maka keluarga akan melangun," kata Rudi.
Melangun adalah tradisi bepergian jauh jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Di kelompok yang tinggal di hutan, perkebunan sawit, dan HTI, melangun akan memakan waktu berbulan-bulan dan diikuti seluruh anggota keluarga besar. Sementara, di kelompok Orang Rimba desa, yang ikut melangun hanya keluarga inti dan hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu.
Dari kelompok-kelompok ini, beberapa di antaranya dikunjungi Jokowi. Tentu saja mereka bahagia. Soal ada yang usil memutarbalikan fakta dengan mengutak-utik foto pertemuan dengan Jokowi, mereka tak peduli. Politik dan kepentingan bukan urusan mereka. Asal hutan tidak dibakar atau dibabat habis dan hidupnya diperhatikan, mereka sudah senang.
(try/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini