Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Serikat Solidaritas Perempuan (SP) yang mengajukan gugatan uji materi itu menilai kehadiran Qanun Jinayah dapat berpotensi merusak tatanan hukum pidana yang telah diatur dalam KUHP. Ketua Badan Pengurus ICJR, Anggara menilai Qanun Jinayah sudah keluar dari Pasal 10 KUHP, padahal, setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengacu pada Pasal 10 KUHP.
"Nah, dalam Pasal 10 KUHP itu tidak mengenal hukum cambuk," kata Anggara saat ditemui di Lobby Gedung Mahkamah Agung (MA), Jl Medan Merdeka Utara, Kamis, (22/10/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ada duplikasi di sini, ada aturan yang diatur dalam Undang-undang lain tapi juga diatur oleh Qanun Jinayah," ujarnya.
Menurutnya, sekalipun pemerintah daerah Aceh memiliki hak dalam mengatur daerahnya secara otonom dan khusus berdasarkan UU pemerintah daerah Aceh, namun kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah Aceh tidaklah bersifat absolut.
"Terdapat koridor-koridor hukum nasional dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk perjanjian-perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia yang menjadi batasan pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh," paparnya.
Terkait dengan kedudukan Qanun Jinayah Aceh tersebut, Anggara menilai peraturan itu merupakan peraturan yang setara dengan Peraturan Daerah (Perda). Seharusnya, hukuman yang digunakan dalam Perda adalah hukuman tindak pidana ringan (tipiring) atau hukum pelanggaran singkat.
"Peraturan hukum Qanun itu tidak memiliki jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)," pungkasnya. (rvk/dhn)