"Koruptor ternyata bukan sejenis maling, mereka itu priyayi agung, orang penting. Buktinya mereka akan diperlakukan secara khusus, diminta dengan hormat menggunakan seragam khusus, rancangan model dan warnannya pun berbeda dengan kostum maling pada umumnya. Meskipun di bagian punggung ada embel-embel koruptor, keinginan memakai seragam khusus itu menurut mas celaku, hanya akan menegaskan ada perlakuan khusus terhadap maling resmi itu. Minimalnya ada kesan terhadap koruptor derajatnya lebih tinggi dalam tradisi nyolong jupuk (mengambil) itu," demikian Butet membacakan monolognya
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sambutan meriah dari pengunjung untuk keduanya. Meski dalam bahasa Indonesia, sebagian besar pengunjung asal Jerman bisa memahami karena di lokasi disediakan tim alih bahasa.
Bianglala Sejarah Indonesia
Selain acara di atas, rangkaian diskusi di paviliun Islands of Imagination di Island of Scene, mencoba menggugat kembali perspektif binarian yang hitam putih dalam wacana historiografi Indonesia.
![]() |
"Di zaman resvolusi fisik pada awal-awal kemerdekaan, sangat sering dijumpai laskar dan para pejuang yang mengatasnamakan TKR keluar masuk kampung dan kemudian mengambil apa yang bukan haknya milik para petani dan orang desa," kata Iksaka.
Pengarang Aceh, Azhari, mengungkapkan hal serupa. Narasi sejarah resmi terlalu hitam putih sekaligus terlalu menganggung-agungkan Indonesia. Sejarah Indonesia, kata Azhari, sebenarnya memuat kekejaman yang biasanya hanya dinisbatkan kepada penjajah Belanda.
"Sebelum Aceh berdamai, negara banyak juga melakukan tindakan yang menyakitkan. Juga terjadi pada peristiwa di Santa Cruz di Timor Timor. Kini pun masih ada kejadian seperti itu di Papua, misalnya," papar Azhari.
Selain terlampau hitam putih dalam memandang peran seseorang atau kejadian dalam kaitannya dengan posisi negara, sejarah Indonesia juga didominasi oleh perspektif (kehidupan) elite, sehingga rakyat kecil yang tinggal di pinggiran kekuasaan jarang mendapatkan tempat dalam narasi sejarah resmi.
Mereka hanya dianggap remeh temeh dalam arus pasang kemerdekaan dan dalam narasi negara. Sejarah kemudian dipahami sebagai rangkaian peristiwa orang-orang besar dan kejadian-kejadian politik yang menyangkut elit di pusat kekuasaan.
![]() |
"Saya lahir, tumbuh dan besar di desa. Dan saya sangat mencintai desa dengan manusia dan kebudayaannya. Saya menulis untuk mengutarakan bahwa desa dan kampung itu eksis, nyata, dan kaya untuk diremehkan dalam berbagai narasi, termasuk dalam kesusastraan," kata pengarang asal Banyumas itu.
(mad/faj)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini