Sindiran Untuk Koruptor dan Bianglala Sejarah Indonesia

Laporan dari Frankfurt Book Fair 2015

Sindiran Untuk Koruptor dan Bianglala Sejarah Indonesia

Rachmadin Ismail - detikNews
Kamis, 15 Okt 2015 12:50 WIB
Foto: Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan pada Frankfurt Book Fair 2015.
Frankfurt - Butet Kertaradjasa tampil menyedot perhatian pengunjung di paviliun utama Indonesia di ajang Frankfurt Book Fair 2015. Dia membacakan monolog menyindir koruptor di Indonesia.

"Koruptor ternyata bukan sejenis maling, mereka itu priyayi agung, orang penting. Buktinya mereka akan diperlakukan secara khusus, diminta dengan hormat menggunakan seragam khusus, rancangan model dan warnannya pun berbeda dengan kostum maling pada umumnya. Meskipun di bagian punggung ada embel-embel koruptor, keinginan memakai seragam khusus itu menurut mas celaku, hanya akan menegaskan ada perlakuan khusus terhadap maling resmi itu. Minimalnya ada kesan terhadap koruptor derajatnya lebih tinggi dalam tradisi nyolong jupuk (mengambil) itu," demikian Butet membacakan monolognya

Bersama Butet, ada juga N. Riantiarno yang membacakan naskah drama. Dia bicara soal bangsa Indonesia dan kecoak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bangsa kita adalah bangsa yang religius, bangsa yang selalu ingat pada sejarah, bangsa yang pandai mengambil hati pahlawan-pahlawan masa lampau, bangsa yang luhur cita-citanya. Bangsa yang adiluhung kebudayaannya. Oleh sebab itu saudara-saudara marilah kita bicara tentang kecoak-kecoak," tutur Riantiarno yang seorang aktor, penulis dan sutradara ini.

Sambutan meriah dari pengunjung untuk keduanya. Meski dalam bahasa Indonesia, sebagian besar pengunjung asal Jerman bisa memahami karena di lokasi disediakan tim alih bahasa.

Bianglala Sejarah Indonesia

Selain acara di atas, rangkaian diskusi di paviliun Islands of Imagination di Island of Scene, mencoba menggugat kembali perspektif binarian yang hitam putih dalam wacana historiografi Indonesia.

Iksaka Banu, pengarang buku 'Semua untuk Hindia', mengatakan bahwa perspektif hitam putih itulah yang hendak ia cairkan melalui karyanya. Dalam sesi diskusi bertajuk 'Reclaiming the Past', Iksaka mengatakan bahwa tidak benar bahwa ia berpihak pada kolonialisme. Ia hanya ingin mengatakan bahwa kolonialisme pun punya sisi humanis yang tidak adil jika ditutupi, sebagaimana juga pihak bumiputera dan Indonesia tidak sedikit yang melakukan kejahatan.

"Di zaman resvolusi fisik pada awal-awal kemerdekaan, sangat sering dijumpai laskar dan para pejuang yang mengatasnamakan TKR keluar masuk kampung dan kemudian mengambil apa yang bukan haknya milik para petani dan orang desa," kata Iksaka.

Pengarang Aceh, Azhari, mengungkapkan hal serupa. Narasi sejarah resmi terlalu hitam putih sekaligus terlalu menganggung-agungkan Indonesia. Sejarah Indonesia, kata Azhari, sebenarnya memuat kekejaman yang biasanya hanya dinisbatkan kepada penjajah Belanda.

"Sebelum Aceh berdamai, negara banyak juga melakukan tindakan yang menyakitkan. Juga terjadi pada peristiwa di Santa Cruz di Timor Timor. Kini pun masih ada kejadian seperti itu di Papua, misalnya," papar Azhari.

Selain terlampau hitam putih dalam memandang peran seseorang atau kejadian dalam kaitannya dengan posisi negara, sejarah Indonesia juga didominasi oleh perspektif (kehidupan) elite, sehingga rakyat kecil yang tinggal di pinggiran kekuasaan jarang mendapatkan tempat dalam narasi sejarah resmi.

Mereka hanya dianggap remeh temeh dalam arus pasang kemerdekaan dan dalam narasi negara. Sejarah kemudian dipahami sebagai rangkaian peristiwa orang-orang besar dan kejadian-kejadian politik yang menyangkut elit di pusat kekuasaan.

Ahmad Thohari, dalam diskusi 'Kampong and City Tales', menyebutkan bahwa karya besarnya, Ronggeng Dukuh Paruk, ditulis terutama untuk memperlihatkan bahwa Indonesia itu punya halaman belakang yang luas, kompleks dan sayangnya kerap diremehkan: desa atau kampung dan manusia serta kebudayaannya.

"Saya lahir, tumbuh dan besar di desa. Dan saya sangat mencintai desa dengan manusia dan kebudayaannya. Saya menulis untuk mengutarakan bahwa desa dan kampung itu eksis, nyata, dan kaya untuk diremehkan dalam berbagai narasi, termasuk dalam kesusastraan," kata pengarang asal Banyumas itu.


(mad/faj)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads