"Saya kerja di pesantren pelaku dari tahun 2006 sampai tahun 2014. Sebenarnya sudah ada gosip di pesantren Tangerang Selatan, tapi karena anak-anaknya tidak mau curhat akhirnya hal tersebut tertutupi," ujar Agoes Nur Rachman, mantan guru yang saat ini menjadi pendamping korban kepada wartawan saat jumpa pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2015).
Namun, pada Februari 2014, kasus yang sama mencuat di Bogor. Saat itu dia mendengar banyak santriwati yang menangis tiap malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kabar tersebut rupanya tersiar hingga ke telinga pengajar yang lain. Karena tak terima anak didik mereka diperlakukan tak senonoh, 15 orang pengajar memutuskan untuk keluar dari pesantren itu.
"Ustad yang mengundurkan diri ada kurang lebih 15. Pada saat itu mereka sudah tahu kejadian tersebut dan tidak mau mengajar apabila pelaku ada di sana. Jadi pelaku itu harus keluar baru mereka akan mengajar lagi karena Februari 2014 saat itu sedang mendekati Ujian Nasional. Setelah mengurus raport siswa mereka (termasuk saya) memilih untuk mengundurkan diri," kata Agoes.
Modus kekeluargaan dan minta dipijit merupakan taktik bejat si pelaku untuk menjebak para santriwati tersebut.
"Jadi santriwati dan kyai itu seperti kakak, sementara dari santri terhadap kyai sudah dianggap sebagai orangtua sendiri. Jadi ketika disuruh mijit mereka nurut saja, cuma yang nggak habis pikirnya, mereka cerita seperti dihipnotis, mereka sadar apa yang dilakukan, mereka sadar ustad ini meraba bagian dada dan bagian kemaluan, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa," bebernya.
Baru 7 orang korban yang berani melaporkan kejadian tersebut ke polisi. "Korban yang di Tangsel memang tidak melapor karena mereka sudah memasrahkan diri dan mengatakan biar Allah yang membalas," sambungnya.
Usai dikeluarkan, para eks pengajar ini sempat berencana untuk bersilaturahmi ke pesantren itu. Namun mereka semua dilarang masuk karena dikhawatirkan akan mendoktrin pikiran santri baru yang tak tahu menahu mengenai kasus ini.
"Ustad yang keluar dilarang untuk main ke Ponpes. Rencananya habis Idul Adha tahun ini kita sempat ngborol dengan mantan pengajar untuk silaturahmi ke ponpes tapi tidak diizinkan masuk, dengan alasan agar kita tidak mendoktrin santri-santri baru yang tidak tahu kejadian tersebut," kata Agoes.
Sejak kejadian terkuat, menurut Agoes pelaku tiba-tiba menghilang tanpa jejak. "Sehari sebelum Idul Adha,dia sudah tidak ada (di ponpes), jadi beliau sudah di blacklist, dan tak bisa dihubungi lagi. Di Hong Kong dia juga sudah melakukan penipuan, pihak sana juga sudah berkoordinasi dengan Konjen RI disana untuk menangani kasus penipuan yang dilakukan di pelaku ini," tutupnya. (rni/dra)











































