7 Pasal Pengantar Kiamat KPK

7 Pasal Pengantar Kiamat KPK

Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Rabu, 07 Okt 2015 11:59 WIB
7 Pasal Pengantar Kiamat KPK
Foto: Hasan Alhabshy
Jakarta - Badan legislasi DPR mulai membahas rencana revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada 7 pasal yang dikecam oleh berbagai kalangan karena dianggap sebagai pengantar kiamat KPK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) memang menyebut apabila sampai revisi UU KPK digolkan, maka kiamat sudah pemberantasan korupsi di Indonesia. "Dari substansinya kita khawatir kalau sampai disahkan, bisa jadi kiamat buat pemberantasan korupsi karena kan salah satu isi revisi UU KPK itu menyebut sejak UU disahkan 12 tahun kemudian KPK bubar permanen. Jadi kalau bisa jangan dibahas apalagi disahkan," ujar peneliti ICW Lola Ester, kepada detikcom, Rabu (7/10/2015).

Berikut pasal-pasal krusial yang dianggap sebagai pengantar kiamat alias pelemahan KPK:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. KPK hanya berusia 12 tahun

Salah satu pasal di rancangannya adalah tentang masa berlaku KPK. "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-undang ini diundangkan," bunyi pasal 5 rancangan RUU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015).

Draf ini merupakan usulan DPR yang disampaikan dalam rapat Baleg. Fraksi yang terdepan mengusulkannya adalah PDIP, diikuti oleh fraksi lain NasDem, Golkar, PPP, Hanura, dan PKB. Sementara PKS dan PD menolak revisi ini, sementara Gerindra belum menentukan sikap.

2. KPK tidak menangani kasus di bawah Rp 50 M

Rancangan revisi UU KPK mencakup aturan soal pengalihan kasus ke kepolisian dan kejaksaan. KPK direncanakan hanya bisa menangani kasus bila kerugian negara di atas Rp 50 miliar.

Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 13 di rancangan revisi UU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015).

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:

a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah)

c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi

Sebelumnya, batas minimal kerugian negara kasus yang ditangani KPK adalah Rp 1 miliar.

3. KPK bisa mengeluarkan SP3

Sejumlah kewenangan KPK diotak-atik DPR lewat rancangan revisi UU KPK yang diajukan. Salah satunya adalah tentang penghentian penyidikan. Saat ini, KPK tidak memiliki wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dengan demikian, semua kasus-kasus di KPK harus dituntaskan.

Dalam rancangan revisi UU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015), pengaturan soal penghentian perkara diatur di pasal 42. Berikut bunyinya:

Pasal 42

Komisi Pemberantasan Korupsi BERWENANG MENGELUARKAN Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahapΒ  penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP.

4. Penyadapan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri

Pengaturan soal kewenangan penyadapan ini termaktub dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a draf RUU KPK usulan DPR.

"Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri," demikian bunyi pasal yang dikutip detikcom, Rabu (7/10/2015).

Jika dilihat dari bunyi pasal itu, maka KPK baru bisa melakukan penyadapan pada tingkat penyidikan. Padahal, selama ini KPK banyak menyadap saat kasus berada di tingkat penyelidikan. Di tahap penyelidikan itu pulalah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan. Rekaman sadapan menjadi senjata ampuh dalam OTT.

Sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf a UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, KPK tak perlu izin hakim untuk melakukan penyadapan. Hasilnya, para koruptor termasuk beberapa oknum hakim berhasil ditangkap, salah satunya berdasarkan rekaman sadapan.

5. Pembentukan Dewan Kehormatan KPK

Merujuk pada Pasal 39 ayat 2 dalam draf RUU KPK yang diajukan DPR, sebagaimana dikutip pada Rabu (7/10/2015), Dewan Kehormatan KPK berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan pegawai dan komisioner KPK. Dewan Kehormatan beranggotakan 9 orang yang terdiri dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat.

"Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK," demikian bunyi pasal tersebut.

Anehnya, dalam draf RUU ini juga masih diatur terkait adanya pengawas internal KPK. Kewenangan pengawas internal di KPK hampir sama dengan kewenangan yang dimiliki Dewan Kehormatan usulan DPR. Selama ini, pengawas internal juga memeriksa dan memberikan sanksi kepada para pegawai KPK yang menyalahi kode etik. Jika ada pimpinan yang menyalahi kode etik, maka dibentuklah komite etik yang akan melakukan pemeriksaan dan menyidangkan secara terbuka.

6. KPK Tanpa Kewenangan Penuntutan

Seperti diatur dalam draft RUU KPK yang diajukan DPR ke Baleg, kewenangan penuntutan yang selama ini dimiliki KPK akan dihapus. Namun, dalam UU tidak diatur bagaimana mekanisme selanjutnya.

Dalam Pasal 51, disebutkan bahwa saat penyidikan selesai, para penyidik akan menyampaikan laporan ke pimpinan KPK. Setelah itu, tidak disebutkan lagi mekanisme setelah berkas sampai ke pimpinan.

"Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti," demikian bunyi Pasal 51.

Di bagian berikutnya dalam draft ini, tiba-tiba langsung jumping kepada kewenangan penuntut umum pada kejaksaan. Padahal, pada bagian sebelumnya tidak disebutkan adanya mekanisme pelimpahan berkas dari penyidik KPK ke penuntut umum pada kejaksaan.

"Penuntut adalah Jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim," bunyi Pasal 53 ayat 1.

Padahal, dalam UU 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, lembaga anti korupsi itu diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan. Hasilnya, penanganan kasus di KPK lebih efektif dan memiliki rekor 100% menang.

7. KPK Fokus di Pencegahan Korupsi

Di rancangan revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR, KPK difokuskan untuk pencegahan. Padahal selama ini KPK sangat dahsyat dalam pemberantasan korupsi.

"Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi," bunyi pasal 4 rancangan revisi UU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015).

Sementara itu, pasal 3 berbunyi 'Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.'

Kini revisi UU KPK pun jadi pro kontra. Presiden Jokowi pernah menolak revisi UU KPK karena dianggap melemahkan KPK. Lalu apakah kali ini pemerintah juga tak akan setuju dengan usul DPR merevisi UU KPK ini?


Halaman 2 dari 1
(van/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads