Salah satu indikator minimnya prestasi DPR adalah dari produk legislasinya. Dari 1 Oktober 2014 hingga 1 Oktober 2015, DPR hanya bisa menyelesaikan 3 RUU yang ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Itu pun bukan pembahasan UU dari awal, melainkan hanya meneruskan Perppu yang dirancang Pemerintah, atau mengubah sedikit RUU sebelumnya.
Tiga RUU yang sudah diselesaikan adalah:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU
3. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU
Penyelesaian 3 RUU ini bisa dibilang menjadi 'prestasi' yang memprihatinkan bagi DPR. Sebab, Prolegnas prioritas DPR di tahun sidang 2014-2015 ini berjumlah 37 RUU, dan bahkan ditambah lagi 2 RUU, sehingga total jumlah Prolegnas prioritas tahun ini 39 RUU. Dengan demikian, berarti DPR baru menyelesaikan 7,7 persen Prolegnas prioritas.
Sedangkan Prolegnas DPR 2014-2019 selama lima tahun totalnya berjumlah 160. Berarti, satu tahun bekerja, DPR baru menyelesaikan 1,875 persen prolegnas.
Minimnya kinerja DPR ini diakui oleh para wakil rakyat. Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa menyebut tak ada yang bisa dibanggakan dari DPR. Dia malah membuat pernyataan satire soal kebanggaan pada pimpinan DPR yang bertemu dengan kandidat capres AS Donald Trump.
"Setahun ini nggak ada yang dibanggakan. Apa yang dibanggakan? Yang dibanggakan melihat Donald Trump dan Ketua DPR," kata Desmond di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/10/2015).
Aktivis '98 ini merasa ada benarnya kritikan DPR yang kebanyakan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, sehingga kinerja legislasi menjadi belum maksimal. Anggota dewan harus bisa berkaca diri.
"Itu Pimpinan DPR dan Komisi nggak beres, akhirnya anggota DPR malas-malasan, apa yang dikritik masyarakat adalah sesuatu yang wajar. Hari ini kami rapatkan evaluasi yang sama, satu tahun ternyata buruk," kata Desmond.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mengakui lembaga yang dipimpinnya masih belum maksimal menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat. Penyebabnya adalah kegaduhan di awal pembentukan DPR.
"Ada dinamika politik panjang di awal, itu membuat kita agak terlambat. Selama masa sidang I tidak efektif. Baru Januari kita duduk untuk tentukan Prolegnas dan pembidangan lain. Harus ada instropeksi," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015) malam.
Dari tiga fungsi DPR, Fadli menyebut tidak ada permasalahan di fungsi anggaran dan pengawasan. Soal legislasi, dia mengatakan bahwa kini ada sistem berbeda.
"Tuntutan legislasi agak beda dengan sebelumnya. Dulu di Badan Legislasi, sekarang di setiap komisi. Eksperimen yang berbeda dengan sebelumnya. Jadi lebih akurat tapi perdebatan jadi panjang," jelas Waketum Gerindra ini.
Wakil Ketua DPR yang lain, Fahri Hamzah, menyebut ada masalah juga di bidang fungsi pengawasan DPR. Menurut Fahri, pengawasan DPR di tahun pertamanya ini kurang maksimal.
"Boleh dikatakan DPR tahun pertama telah melonggarkan pengawasan kepada Pak Jokowi. Lebih karena situasi di awal periode, muncul pemerintahan baru yang perlu diberikan kesempatan," kata Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015) malam.
Autokritik keras juga datang dari Ketua Fraksi NasDem Victor Laiskodat. Menurut Victor, rakyat sudah lama tak menaruh hormat kepada anggota dewan yang terhormat.
"Itu bukan mengada-ada (publik mencibir DPR). Memang harus diakui, publik tidak taruh rasa empati, rasa hormat. Kami di rapat dipanggil yang terhormat, tapi itu hanya simbol belaka," katanya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015).
Dorongan agar DPR berbenah pun diserukan. Salah satunya oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Selain sudah melontarkan 7 poin evaluasi untuk DPR, khususnya di fungsi budgeting, LSM ini juga mendorong DPR segera berbenah.
"Kami mendesak DPR berbenah dalam hal pengelolaan anggaran internal yang sering kontroversial, harus ada standardisasi harga yang jelas dan orientasi penggunaan anggaran yang efektif. Caranya apa? Pake e-budgeting dong," kata Manajer Advokasi Fitra Apung Widadi.
Secara substansi, Apung melanjutkan, politik anggaran DPR harus berpihak terhadap rakyat, dalam pembahasan APBN harus mengedepankan kebutuhan rakyat di dapil, tapi jangan disalahartikan juga jadi dana aspirasi.
"Ini secara makro fiskal harus diarahkan kepada pemerataan distribusi kesejahteraan di daerah. Dari sisi pengawasan, DPR perlu paham, kinerja pemerintah sekarang juga kurang bagus. Harus dikawal diawasi dari sisi efisiensi anggaran infrastruktur dan kebijakan ekonominya," ujarnya.
Bagaiamana agar fungsi-fungsi di DPR ini bisa berjalan dengan maksimal? Maka kegaduhan politik di internal DPR harus segera dituntaskan.
"Selesaikanlah urusan pribadi internal DPR dulu, dan kembalikan pada nilai lahiriah wakil rakyat sebenar-benarnya, bukan sebaliknya," pungkas Apung.
Halaman 2 dari 2











































