Aturan ganti rugi Rp 1 juta tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dan telah berusia 32 tahun.
"Dimungkinkan diformulasikan besaran kompensasi dalam bentuk kategori-kategori sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan setelah adanya putusan peradilan," kata guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Dr Hartiwiningsih, Jumat (2/10/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bila komponen yang terdapat dalam UU HAM dapat diadopsi maka konsep ganti rugi dapat dimaknai secara lebih luas yaitu tidak hanya sekedar perbuatan sepihak dari negara di mana kedudukan mereka tidak seimbang, namun dengan konsep kompensasi ada dua pihak yang punya kedudukan seimbang yaitu negara sebagai pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum dan person adalah pihak korbanya yang berhak mendapatkan kompensasi," cetus Prof Har.
Selain kompensasi, dalam setiap putusan bebas, majelis hakim juga memerintahkan amar merehabilitasi terdakwa yang dibebaskan. Namun hingga hari ini, tidak pernah terumuskan dengan jelas apa makna rehabilitasi tersebut, siapakah yang menjalankan dan bagaimana mekanismenya. Jika di kasus pidana, maka seharusnya negara yang merehabilitasi 'terdakwa' yang ternyata telah mengalami peradilan sesat.
"Perlu diatur kembali pengaturan rehabilitasi dalam UU karena menyangkut HAM. Sinkronkan juga dengan UU Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal ini diatur dalam pasal 97 ayat 2 KUHAP yang menyatakan rehabilitasi demikian diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan," ujar Prof Har.
Hadir dalam pertemuan itu Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip) Prof Adji Samekto, ahli hukum Yenti Garnasih, Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja, ahli hermeneutika hukum Dr Ilham Hermawan serta ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono. Expert Meeting ini juga mengundang penggiat kemanusiaan, Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma.Β
Semuanya menyetujui agar Kemenkum HAM mengubah nominal kompensasi itu. Namun ketika merujuk kepada angka pasti, para pakar hukum ini belum sepakat berapa nilai rupiah yang ditetapkan, baik untuk batas bawah atau batas atas. Namun bagi Prof Har, nilai maksimal itu harus sepadan.
"Negara kita kan kaya, di atas miliaran rupiah seharusnya," pungkas Prof Har.
Kasus yang menghiasi media belakangan terakhir antara lain peradilan sesat yang dialami Sri Mulyani di Semarang yang sempat ditahan selama 13 bulan di dalam penjara karena tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur. Di Jakarta Utara, seorang buruh Krisbayudi ditahan selama 251 hari akibat tuduhan pembunuhan berencana terhadap ibu anak di daerah Priok. Di Tulung Agung, Jawa timur, buruh tani Jasmani meringkuk di penjara selama 134 hari dengan tuduhan mencuri sebuah pompa air.Β
Lalu sampai kapan negara membiarkan para korban peradilan sesat tidak mendapatkan kompensasi yang layak? (asp/rvk)