Cerita Putri Ahmad Yani yang Rangkul Eks Tapol dan Keluarga Bekas PKI

Cerita Putri Ahmad Yani yang Rangkul Eks Tapol dan Keluarga Bekas PKI

Elza Astari Retaduari - detikNews
Kamis, 01 Okt 2015 01:24 WIB
Foto: Elza Astari Retaduari/detikcom
Jakarta - Tanggal 30 September selalu diperingati sebagai hari sejarah pemberontakan kelompok komunis. Meski sudah lama berlalu, PKI masih menjadi hal sensitif di Indonesia.

Putri pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani, Amelia, memiliki misi perdamaian dengan mencoba merangkul korban peristiwa 30 September 1965, termasuk keluarganya. Para kerabat 7 jenderal yang menjadi korban peristiwa berdarah itu dan keluarga kelompok bekas PKI sepakat untuk berhimpun dalam suatu wadah yang diberi nama Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB).

"Karena kita semua korban, dalangnya adalah PKI. Kita semua merasakan kepedihan yang amat sangat," ucap Amelia Ahmad Yani dalam peringatan hari G30S/PKI di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Rabu (30/9/2015) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Amelia bersama anak cucu keluarga PKI banyak melakukan kunjungan. Termasuk ke Pulau Buru, lokasi di mana dulu tahanan politik PKI ditempatkan. Melalui FSAB ini, Amelia mencoba merangkul bekas tapol dan juga keluarganya.

"Kita tidak bicara rehabilitasi, tapi untuk menjalin silahturahmi. Karena anak cucu mereka (tapol PKI) yang mendapat imbasnya. Mereka selalu dibilang 'anak PKI, pengkhianat'. Itu menyebabkan ketakutan," kata Amelia.

"Saya ke Pulau Buru, anak-anaknya PKI pada ngumpet. Setelah saya bilang saya juga anak korban peristiwa G30S/PKI mereka baru keluar," sambungnya.

Ini juga termasuk mantan tapol yang sudah dibebaskan. Mengenai penyelesaian masalah G30S/PKI, menurut Amelia, ada baiknya tidak banyak yang ikut turun tangan karena justru akan semakin memperkeruh keadaan.

"Saya pribadi ya, ketemu dengan mantan tapol. Mereka sudah melaksanakan di level bawah. Istilah kami bukan rekonsiliasi, tapi silaturahmi biar tanpa tuntutan. Biarkan kami yang merasakan kepedihan, yang melakukan rekonsiliasi dengan merek karena yang kasihan anak-cucunya yang saat ini masih terisolir," tutur Amelia.

"Jangan ada pembiaran, banyak dari mereka nggak berani ketemu orang. Anak cucunya sekian tahun merasa seperti itu. Biar ini hadirnya natural, jangan ada banyak campur tangan," imbuhnya.

Amelia sempat datang ke rumah panti jompo di Jl Kramat V di mana banyak penghuninya bekas tapol Pulau Buru. Mereka mengaku merasa masih diperlakukan tidak adil meski sudah mendapat amnesti.

"Kemarin ada ibu bekas tahanan PKI bilang, di KTP mereka ada tanda ET (eks tahanan). Saya suruh perlihatkan, ternyata nggak ada kok. Hak perdata mereka sudah dikembalikan," ucap Amelia.



Sebagai anak korban, Amelia menyatakan keluarganya sebenarnya masih ada yang merasa tidak terima. Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu korban tewas yang jenazahnya dibuang di Lubang Buaya bersama 6 jenderal lainnya oleh pemberontak saat peristiwa G30S/PKI.

"Keluarga saya, ada yang tidak bisa menerima. Krn kekejaman sangat tergambar dan terlihat. Kayak Aidit, politbiro sering ke rumah, Umardani, mereka ada di kabinet, wakil PM, posisinya sangat tinggi, di balik itu semua kita tidak tahu mereka berkhianat. Kalau TNI AD tidak salah. Mereka pegang sapta marga sebagai seorang prajurit," cerita putri sulung Ahmad Yani itu.

Dalam acara peringatan kali ini, Amelia juga bercerita mengenai pengalamannya pada masa sebelum sang ayah ditembak mati oleh pemberontak. Yani yang sempat sekolah komando di Amerika Serikat itu yang dulu sering dianggap sebagai pengkhianat.

"TNI AD sangat kuat dan anti PKI, kami selalu dituduh pro Amerika, beliau disebut jenderal pentagon berkulit sawo matang," katanya.

Di hadapan para tamu, Amelia juga bercerita mengenai momen menyedihkan kala sang ayah yang kala itu menjabat sebagai Pangab, tewas terbunuh. Amelia juga sempat membacakan surat yang dikirimkan A Yani kepada Presiden Soekarno berisi mengenai penolakannya terhadap faham komunis.

"Ide persenjatai PKI ditolak A Yani. Keadaan politik semakin tak menentu. Di tempatkan di Kalimantan Utara, di sinilah pimpinan poltbiro, cakrabirawa, pemuda rakyat, mencuri waktu untuk melancarkan kudeta terhadap Indonesia yang sah," kisah Amelia.

Ia teringat betapa kelamnya detik-detik sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI. Di mana pihak pemberontak yang sering berlatih di Lubang Buaya mendatangi rumah-rumah prajurit dan akan menembak bagi mereka yang melawan.

"Dalamkeheningan pagi pukul 04.00, mereka memasuki rumah kami. A Yani diculik, hanya pakai piyama. Beliau sempat melawan dan ditinju prajurit cakrabirawa, A Yani langsung berbalik cepat, keluar lewat jendela, lalu ditembus 7 peluru beruntut," ungkapnya.

"Kami menangis dan menjerit melihat ayah kami diseret begitu cepat. Dan sampai di pintu belakang kami dihadang dan dihardik untuk masuk ke rumah, atau ditembak, senapan sudah dikokang, yang jaga dirumah Garnisun hanya melongo. MT Haryono juga ditembak didepan istri dan putra-putrinya," tambah Amelia.



Kisah kelam tersebut masih terus membayangi Amelia dan keluarganya hingga saat ini. Ia juga mengaku masih mengingat betapa 'horor'-nya saat ia bersama keluarga hanya mampu mendengarkan perkembangan dari radio dengan informasi yang mengatakan ayahnya adalah pengkhianat.

"DI Panjaitan juga ditembak di tempat dihadapan istrinya. Ada 350 peluru yang ditembakkan. Suprapto masih kenakan sarung. Tendean, masih berkaos oblong putih, mereka dibawa ke lubang buaya, ketujuh prajurit dibuang 12 meter. Sumur tersebut kemudian ditimbun dengan sampah, dan ditindas dengan truk mereka," tukasnya.

"Kami hanya bisa mendengarkan dari radio, disiarkan bahwa A Yani adalah pengkhianat negara, prajurit yang membunuh tentara dinaikkan pangkatnya 1 tingkat. Sedangkan radio Australi, menjelaskan ayah kami belum ditemukan. Senin 4 Oktober jam 2 siang, 7 prajurit diangkat dari sumur, oleh KKO. 12 Maret PKI dan ormasnya dibubarkan," terang Amelia.

Amelia pun membantah keras bahwa peristiwa ini terjadi akibat kesalahan prajurit ataupun instansi TNI AD. Menurutnya, pahlawan revolusi yang gugur tidak mungkin menodai sapta marga.

"Mereka (7 korban perwira) adalah setia pada Sapta marga. Waktu peristiwa Dwikora, Malaysia imperialisme nekolim, saat malaysia diterima PBB, Soekarno keluar dari PBB. Ayah saya menulis catatan: 18 Januari '65, kenapa saya jadi prajurit, karena saya cinta tanah air," tutup wanita yang baru diangkat sebagai diplomat ini.



Halaman 2 dari 3
(elz/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads