"Penetapan status dan tingkatan bencana seperti yang diamanatkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam bentuk Peraturan Presiden belum ditetapkan karena dalam praktiknya sulit," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat dikonfirmasi, Rabu (30/9/2015).
Sutopo menjelaskan, status dan tingkatan bencana didasarkan padaΒ indikator yang meliputi a) jumlah korban, b) kerugian harta benda, c) kerusakan sarana dan prasarana, d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu juga seperti longsor yang terjadi Banjarnegara pada awal tahun 2015 yang menyebabkan 110 orang meninggal seperti dicontohkan Sutopo.
"Indikator b,c,d,e juga tidak memenuhi. Atau bencana erupsi Sinabung yang banyak pihak menginginkan sebagai bencana nasional. Ternyata hanya memenuhi indikator b dan e. Itu hanya terjadi di beberapa kecamatan dalam satu kabupaten. Itulah yang menyebabkan status dan tingkatan bencana nasional sulit dibuat," tutur Sutopo.
Menurut dia, presiden yang berwenang menetapkan status bencana nasional setelah memperoleh masukan dari BNPB dan kementerian lembaga terkait.
"Dalam praktiknya Indonesia baru sekali menyatakan bencana nasional yaitu saat tsunami Aceh 2004. Itu terjadi karena semua indikator memenuhi. Dan yang paling penting adalah bagaimana keberfungsian dan potensi daerah yang ada saat terjadi bencana, apakah hancur semua atau kah masih utuh," sambung Sutopo. (fdn/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini