Hingga 2002, di Bayah masih tercatat 17 orang mantan romusa yang hidup. Mereka antara lain bertugas di bagian jalan, menggali lubang, merawat kuda, hingga juru tulis. Seorang di antaranya, P. Samijo bin Rejo Mukasan asal Kebumen, yang bertugas sebagai juru tulis, menerima uang pensiun "Eks Pejuang Veteran" dari pemerintah. "Besarnya Rp 500 ribu per bulan," kata Koordinator Sesepuh Banten Kidul, M.S. Achmad Badjadji, sambil menunjukkan dokumen dimaksud kepada majalah detik.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari cerita para orang tua maupun mertuanya, kata Badjadji, kebanyakan romusa mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari Jepang selama bekerja. Mereka dituntut terus bekerja dengan asupan makanan yang sangat minim. Akibatnya, banyak yang sakit dan meninggal. "Itu di luar romusa yang meninggal akibat disiksa karena dianggap malas bekerja," kata Badjadji.
![]() |
Untuk mengenang jasa para romusa di Bayah, berdiri sebuah monumen berbentuk segitiga di pinggir Jalan Raya Bayah-Malingping Kilometer 1. Sayang, monumen itu dibuat sepertinya dibuat tanpa perencanaan desain yang baik. Juga tanpa penjelasan apa pun di sana, sehingga tak memberi makna apa-apa selain sebuah tugu.
Kepada rombongan peserta Napak Tilas, Badjadji juga sempat mengajak melihat lokasi kuburan massal romusa dekat pantai wisata Pulau Manuk. Tepatnya di Jalan Dekker, yang dikelilingi perkebunan karet. Tapi yang tersisa dan terawat tinggal satu makam, yang lokasinya agak jauh ke dalam area perkebunan. Selebihnya, jejak makam sudah tak berbekas.
Berbeda dengan cerita Badjadji maupun kisah-kisah tentang kekejaman Jepang terhadap romusa yang ditulis di buku-buku sejarah, Kasmin B. Karta, 91 tahun, justru mengaku tak pernah mengalaminya. Sebagai romusa, warga Desa Bolang, Kecamatan Malingping, itu terlibat dalam pembangunan jalur rel kereta api dan Stasiun Malingping, yang posisinya di antara Saketi dan Bayah.
![]() |
"Saya ikut macul, gali-gali, angkat batu dan bantalan kayu," ujar Kasmin. Untuk pekerjaan semacam itu, ia mengaku menerima upah sebesar tiga ketip. Entah berapa besar nilai padanannya untuk saat ini, tapi kala itu pun sepertinya jumlah tersebut jauh dari cukup untuk biaya hidup. Toh, ia tetap mensyukurinya.
Hal lain yang paling disyukuri Kasmin adalah kondisi tubuhnya yang masih bugar sampai sekarang. Mungkin karena ia tak menerima hukuman fisik dari Jepang seperti dialami sesama romusa lainnya. Pendengaran dan penglihatan lelaki kelahiran 31 Desember 1924 itu masih tergolong baik. Ia pun masih bisa berdiri dan duduk dengan tegak. Juga tak perlu dipapah saat berjalan. Tapi gusinya yang sudah bersih dari gigi-gigi membuat lawan bicara sulit menangkap kata-kata yang diucapkannya. "Saya sehat dan baik, kecuali gigi-gigi saya sudah tak ada," ujarnya.
Kakek belasan buyut itu tak mengerti kenapa dirinya tak pernah kena pukul. Abdul Majid, Kepala Desa Bolang pada 1984-1989 dan 1997-2002 menduga profesi Kasmin sebagai guru mengaji di surau membuat para pengawas romusa segan terhadapnya sehingga ia luput dari siksaan. "Itu yang saya dengar dari cerita orang-orang tua dahulu," ujarnya.
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 200, 28 September 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Tragedi Mina Salah Siapa". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Menuju Bursa DKI Satu", Internasional "Setelah PM Lee", Ekonomi "Rizal Vs Lino", Gaya Hidup "Hijab di Australia Lebih Longgar, Lebih Kasual", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Intern", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!! (mad/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini