Rupanya di sana telah berdiri seorang lelaki tampan penuh karisma. Mengenakan kemeja warna terang dan topi bundar bernomor 970, lelaki itu tak lain adalah Sukarno atau Bung Karno. Para pekerja dan romusa itu merasa terhormat dikunjungi oleh pemimpin pergerakan semasa melawan Belanda.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua adegan itu terekam dalam sebuah film dokumenter buatan Jepang. "Ini film propaganda Jepang untuk menyukseskan program romusa membangun jalur kereta api Saketi-Bayah," kata Ade Sampurna dari Komunitas Sahabat Museum pada 21 September lalu di aula sebuah penginapan di Bayah, Banten Selatan.
![]() |
Ia memutarkan film yang dibelinya di Amsterdam seharga 20 euro itu di hadapan sekitar 50 peserta "Napak Tilas Jalur Saketi Bayah" pada 21-22 September. Turut hadir di aula malam itu sejumlah tokoh masyarakat Bayah. Menurut Ade, Bung Karno datang ke Bayah pada awal 1944. Di sana, sejak Februari 1943 hingga Maret 1944 tengah dibangun jalur kereta api sepanjang 89 kilometer dari Saketi di Pandeglang menuju tambang batu bara di Bayah, Banten Selatan.
"Selama sepekan dia tinggal di sana bersama para romusa," ujar lulusan sastra Belanda Universitas indonesia pada 1996 itu.
Dalam film berdurasi lima menit itu juga terekam adegan Sukarno tengah ikut menenteng pacul. Juga ada adegan dia makan di tengah-tengah kerumunan para romusa. Bedanya, si Bung tetap tampil perlente dengan rambut klimis dan kacamata hitam.
Menurut sejarawan Peter Kasenda dari Universitas Indonesia, Sukarno menyokong Jepang karena dianggap lebih menjanjikan ketimbang Belanda soal kemerdekaan. Sukarno juga punya kekaguman tersendiri pada Jepang, yang dalam waktu cukup singkat bisa menaklukkan Belanda. Dia melihat kedatangan Jepang di Indonesia sebagai pintu masuk menuju kemerdekaan.
"Sukarno juga bersahabat cukup baik dengan penguasa Jepang pertama, yaitu Jenderal Hithosi Imamura, mereka lalu bekerja sama."
Selain Sukarno, ada tokoh pergerakan Tan Malaka, yang menyamar dengan nama Ilyas Hussein selama program romusa di Bayah. Hal itu tertuang dalam biografi Tan Malaka bertajuk Pergulatan Menuju Republik, yang ditulis sejarawan Belanda, Harry A. Poeze.
Menurut Poeze, Ilyas alias Tan sempat terlibat perdebatan dengan Sukarno. Pidato Soekarno bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu dan setelah itu Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia dibantah Tan Malaka. Itulah perbedaan sikap kedua pemimpin, pejuang yang sama-sama mencita-citakan kemerdekaan Indonesia.
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 200, 28 September 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Tragedi Mina Salah Siapa". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Menuju Bursa DKI Satu", Internasional "Setelah PM Lee", Ekonomi "Rizal Vs Lino", Gaya Hidup "Hijab di Australia Lebih Longgar, Lebih Kasual", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Intern", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!! (mad/mad)