"Perbedaan Idul Adha, memang kita terus mencari titik temu yang bisa satu antara pemerintah dan ormas lain. Kami gagasannya lebih jauh lagi yaitu unifikasi kalender hijriah internasional. Seperti masehi, itu kan tak lagi nyicil. Ke depan kita akan menuju itu, butuh proses, tapi sekarang kita belum menemukan titik temu itu, kalau ada perbedaan harus tetap menghargai," tutur Haedar usai bertemu Jokowi di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (22/9/2015).
Menurut Haedar memang sejak dahulu sering terjadi perbedaan dalam menentukan hari raya agama Islam di Indonesia. Tahun lalu pun terjadi perbedaan pendapat terkait Idul Adha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muhammadiyah juga menyampaikan kepada Jokowi bahwa setiap warga negara berhak menjalankan ibadah sesuai dengan hak konstitusionalnya tanpa kendala dan hambatan. Termasuk menggunakan fasilitas negara seperti lapangan dan lain-lain. Karena menurut Muhammadiyah itu merupakan hak publik.
"Presiden menyambut baik, karena beliau mengapresiasi Islam yang membawa kemajuan itu juga menjadi praktis. Itu bisa untuk kepentingan transaksi dan lain-lain. Muhammadiyah sebenernya sudah punya kalender itu, kami bisa memprediksi sampai Idul Fitri 2080," ungkap Haedar.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menambahkan harapan agar pemerintah memberikan perhatian yang sama kepada umat muslim yang merayakan Idul Adha esok hari (23/9). Dia juga mengapresiasi sejumlah daerah yang memberi kebijakan hari libur untuk perbedaan peringatan Idul Adha ini.
"Kalau tak bisa berikan libur, hendaknya diberikan dispensasi untuk datang telat. Dan itu hak konstotusional. Negara menjamin agar setiap warga negaranya beribadah. Salah satu jaminannya adalah bahwa mereka yang melaksanakan salat Idul Adha kalau telat datang kantor mudah-mudahan ada kearifan dari pejabat di semua struktur pemerintahan agar dapat memberikan dispensasi khsusus," kata Mu'ti. (bag/nrl)











































