Vonis itu diketok pada 28 Agustus 2015 dalam nomor perkara 651 K/PDT/2015 dengan ketua majelis Prof Dr Takdir Rahmadi SH LLM. Duduk sebagai hakim anggota yaitu hakim agung Dr Nurul Elmiyah dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha. Bagi Takdir, kasus lingkungan bukan hal baru karena ia merupakan guru besar Universitas Andalas (Unand) Padang untuk kajian hukum lingkungan.
Bagaimana pandangan Takdir soal permasalahan lingkungan dan hukum di Indonesia dewasa ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak diundangkannya UU No 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pada 11 Maret 1982. UU ini lalu diganti pada 19 September 1997 dengan UU No 23 Tahun 1997. Dua belas tahun setelahnya, UU tersebut digantikan dengan oleh UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
"Jika kita cermati, ketiga UU itu mengandung norma-norma UU yang masuk ke dalam bidang hukum administrasi negara, pidana dan perdata," kata Takdir dalam tulisan yang dipublikasi pada 13 Agustus 2014 ini.
UU PPLH 2009 memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penciptaan delik-delik materil baru.
"UU PPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup mmanakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek," ujar dosen yang pernah mengabdi pada LBH Padang itu.
"Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang," sambung dosen yang menjadi hakim agung sejak tahun 2009 ini.
Kedua, UU PPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
"Di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (strategic legal action against public participation) yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa datang," cetus Ketua Muda MA bidang Pembinaan ini.
Gugatan SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk bersikap kritis dan menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau telah terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup oleh sektor-sektor usaha sehingga pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan peran aktif masyarakat madani (civil socitey).
"Para hakim di Indonesia penting sekali untuk memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66 UU PPLH," kata Takdir menegaskan.
Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Yaitu Penyidik PNS memiliki kewenangan melakukan penyidikan dari awal hingga berkas diberikan ke jaksa penuntut umum untuk disidangkan. Proses tidak lagi melalui tahapan polisi sebagaimana diamanatkan KUHAP.
"Pemberian kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa depan apakah akan membawa perkembangan positif bagi upaya penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan apapun," beber Takdir.
Keempat, dalam UU PPLH pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Kelima, UU PPLH telah secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
"Dalam UU PPLH pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Namun, UUPPLH tetap mengadopsi pertanggungjawab badan usaha (corporate liability). Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab," terang dosen yang pernah aktif di Pusat Hukum Lingkungan Indonesia (Indonesian Center for Environmental Law/ICEL).
Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 UUPPLH merupakan sebuah terobosan atau kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-sungguh melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala memimpin sebuah badan usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 UU PPLH mirip dengan vicarious liability dalam system hukum Anglo Saxon.
"UU PPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. pemberlakukan delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup," pungkas peraih LLM dari Universitas Dalhousie, Kanada, pada 1987.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini