Aa yang sebelumnya berada di kawasan Aceh dan Medan, terpaksa menuju kawasan Riau dengan jalan darat. Dia tidak menemukan tiket pesawat Medan-Pekanbaru pada hari Kamis (10/9/2015). Gara-gara asap, tak ada penerbangan menuju Pekanbaru. Padahal, dia harus rapat dengan partnernya di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir pada Jumat (11/9/2015) sore. Terpaksa dia harus menempuh jalur darat dan tentu rapat di Tembilahan itu harus dijadwal ulang.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah searching sana sini di berbagai situs online penyedia tiket, saya tidak menemukan satu penerbangan punΒ dari Medan ke Pekanbaru untuk keberangkatan pada Kamis sore sampai malam, juga untuk hari Jumat besoknya.Β Walhasil, alternatif paling mungkin ke Pekanbaru dari Medan via darat naik bus, dengan jarak sekitar 650 KM. Tentu saja saya menghadapi risiko telat datang ke Pekanbaru,Β karena di sepanjang jalan negara tersebut, banyak pekerjaan perbaikan jalan yang membuat lalu lintas tersendat, atau bahkan berhenti karena sistem buka tutup. Akhirnya target subuh sampai Pekanbaru mission yang benar-benar impossible.
SayaΒ berangkat pukul 19.30 WIBΒ dari Medan. Pagi-pagiΒ bus yang saya tumpangi sudah mulai memasuki daerah Provinsi Riau.Β Mata saya segera disambut oleh pemandangan berkabut oleh asap putih.Β Semakin lama semakin pekat dengan jarak pandang yang bervariasi, tetapi rasanya tidak lebih dari 400 meter.Β Bus yang kami tumpangi baru sampai Pekanbaru pukul 12.00 WIB. Total saya menempuh 16,5 jam perjalanan dari Medan ke Pekanbaru. Tentu saja meeting sore hariΒ di Tembilahan - sekitar 8 jam jalan darat dari Pekanbaru - otomatis batal.Β Β
![]() |
Saya bersyukur Minggu pagi dapat kabar bahwa meeting diagendakan hari Senin siang. Saya pun meluncur ke Tembilahan menggunakan mobil seorang kawan.Β Maka dimulailah perjalanan menembusΒ kepulan asap secara lebih sempurna.Β TingkatΒ kepekatan asap semakin tinggi ke arah Jambi. MungkinΒ asap makin pekat karena semakin dekat dengan titik api.Β Tidak ada lagi pemandangan yang dapat dinikmati secara normal, kecuali dilihat dari perspektif jenaka, misalnya kami melihat masjid Agung yang megah di Pelalawan sebagai masjid di atas awan, karena kubah masjidΒ dan bangunannya yang tinggi menjulang seolah berada di atas awan putih. Mirip animasi di film anak-anak tentang bangunan dewa-dewi di angkasa.
Tak ada panorama lain selama berjam-jam kecuali pemandangan putih yang kusam, gunung, langit, matahari tak nampak sama sekali.Β Menjelang sore tentu saja suasana menjadi lebih aneh.Β Sore yang biasanya eksotik dan romantis kini murung dibalut asap.Β Lampu-lampu kendaraan di ujung jalan nampak samar-samar bergantian mendekat dan menjauh.Β Memang tidak sepekat kabut puncak Bogor yang sangat gelap, tapi suasanaΒ kabut yang berjam-jam sepanjang hari dan masker yang mulai bau arang membuat sangat tidak nyaman untuk bernafas.
Sampai di Tembilahan malam hari, tidak seperti biasanya tidak ada acara berburu kuliner malam.Β Seluruh selera tentang makanan ikan bakar dengan sambel sedikit pedas nampaknya luruh oleh bau asap.Β Kami hanya berusaha mencari hotel secepatnya untuk istirahat dengan nyaman. Sebelum masuk ke alam mimpi di kamar hotel, sempat saya tercenung memikirkan perjalanan beberapa hari ini. Tidak sebentar pun kehilangan asap sejak memasuki Pekanbaru sampai Tembilahan. "Kepada siapakah saya harus menggugat?".Β Agak ngeri juga ketika mengambil pertanyaan konklusi agak bodoh:Β "Atau sedemikian parahnya kita mengelola negara ini,Β sehingga masalah asap yang merupakan fenomena primitif kehidupan pun tak bisa diantisipasi, dan bahkan sudah belasan tahun lamanya?!"
Aa Subandoyo pun membuat puisi tentang asap di Tembilahan yang ia lihat, alami dan rasakan. Berikut puisinya:
ASAP DI TEMBILAHAN
Ini bukan sekadar asap
Ini udara keserakahan
Dan baunya adalah bau ketidakadilan
Atas penguasaan aset aset ekonomi bernama alam!
Ini bukan sekedar asap
Ini adalah sesembahan pada dewa materialisme
Yang mengorbankan jutaan pepohonan, panggang belalang, bunglon, dan ribuan anak-anak primata di ribuan hektar tanah kehidupan!
Terbakar, hangus dan menjadi asap
Menemui hidung hidung kesadaran kita, memaksa perih pada mata yang telah lama rabun peradaban!
Asap
Mengantarkan jerit alam semesta yang bisu
Mengirim pesan lewat atom dan molekul
Untuk mencari tahu:
Adakah bagian darah kita yang terpanggil
Adakah ruang kekuasaan yang efektif
Dan adakah cinta, yang masih menyala di tengah ruang hedonisme tanpa hati?
Asap ini,
Adalah pesan teramat perih
Dari luka yang mewabah
Dan duka semesta yang perlu katarsis!
Senin 14 September
Dubest Hotel, Tembilahan, Indragiri Hilir-Riau.
(faj/asy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini