Adalah Johan Rahmanda Andira. Di usianya yang masih 18 tahun, ia sudah menjadi instruktur atau pelatih bagi siswa penerbang di NAM Flying School. Begitu lulus pada tahun 2013 dari NAM, ia langsung ditarik untuk mengajar.
"Begitu lulus, saya sebenernya mau daftar bareng temen-temen untuk jadi pilot, di mana saja. Tapi terus ada panggilan untuk jadi instruktur. Saya diwanti-wanti, kata pihak sekolah 'kamu yang paling bagus di sini, cari pengalaman dulu'. Karena real battlenya kan di maskapai, saya pikir bener juga, saya harus punya banyak pengalaman," ujar Johan saat berbincang dengan detikcom di NAM Flying School, Pangkalpinang, Kamis (4/9/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah lulus, saya lanjut pendidikan instruktur sampai Desember 2013. Terus mulai terbang (menambah jam terbang) dari Januari-Maret 2014. Begitu lulus sekolah pilot kan jam terbang 150, untuk bisa mengajar jam terbang minimal 250," jelasnya.
Untuk menjadi masuk ke sekolah penerbang ternyata tidaklah mudah. Calon siswa harus lulus syarat administrasi. Pertama adalah harus memiliki student pilot licence (SPL) yang dikeluarkan oleh Dinas Sertifikasi Kelaikan Udara. Untuk mendapat SPL, diperlukan beberapa tes, termasuk teori dasar dan tes Bahasa Inggris.
Kemudian untuk masuk ke sekolah pilot, calon juga harus memiliki medical sertificate dengan beberapa tes yang harus dijalani. Jika calon memiliki penyakit, jangan harap bisa diterima di sekolah penerbang.
Pendidikan di NAM Flying School tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah penerbang lainnya. Ada pelajaran teori yang dikenal dengan ground school, simulasi, lalu praktek.
"Untuk teori, ada 2 kali masing-masing 1,5 bulan untuk private pilot licence (PPL) dan CPL. Setelah teori selesai, nanti ada ujian negara baru masuk ke simulator. Terus ada tes internal. Yang nilai paling bagus berpotensi untuk bisa lebih dulu praktek," tutur Johan.
Untuk bisa mulai mengikuti pelajaran praktek, siswa harus memiliki 15 jam terbang simulator termasuk lulus ujian. Baru siswa bisa mengikuti pelatihan terbang di sirkuit.
"Sirkuit itu paling dasar, terbang di seputar bandara aja. Pinnya yang penting bisa landing dulu, karena itu yang paling susah. Kalau udah di sirkuit, latihan terbang ke area, kalau di sini masih di daerah Bangka, 20-40 km jaraknya, harus bisa pulang balik, manuver. Setelahnya baru cross country seperti penerbangan biasanya itu. Baru setelah itu cross country," ucap pria yang kini berusia 20 tahun itu.
Sekolah NAM ini menggunakan pesawat latih jenis single engine land, Piper Warrior III dan simulator frasca, Red Bird DA 42 multi engine. Selain mendapat PPL dan CPL, lulusan sekolah ini mendapat instrument rating jenis pesawat itu. Jika ingin membawa jenis pesawat lain, maka pilot harus mendapat instrument rating sesuai pesawatnya.
Johan mengaku tak selamanya ia hanya ingin menjadi instruktur. Pria yang sempat ingin masuk Akpol tersebut berharap bisa bisa bekerja di maskapai besar seperti Garuda atau Sriwijaya Air, bahkan hingga kancah internasional.
"Pasti setiap pilot maunya (kerja) ke airlines. Saya ingin bisa mau regional mungkin ASEAN, kalau bisa malah internasional," kata Johan optimis.
Selain Johan, ada satu orang instruktur di NAM yang juga masih berusia muda. Ia adalah Imam Prakoso (20). Sama seperti Johan, ia langsung ditarik untuk mengajar setelah lulus dari NAM. Ia mengaku bangga bisa menjadi seorang pilot, sebab menurutnya, mengemudikan pesawat tidak sama dengan mengemudikan kendaraan yang ada di darat.
"Kan pilot nggak seperti supir biasa, harus menanggung beban dan penumpang tapi nggak di darat. Risiko lebih tinggi," ucap Imam dalam kesempatan yang sama.
Selama belajar di sekolah pilot, Imam menjelaskan siswa tak melulu hanya belajar mengenai cara mengemudi. Ada banyak hal yang harus diketahui dalam proses menerbangkan pesawat.
"Kita belajar metereologi, airlaw, flight planning ini untuk mengukur aftur yang diperlukan selama perjalanan, airframe (pesawat science), power plant (permesinan) gimana sistem pesawatnya, navigasi, makanya matematika itu dasar," terang pria asal Pangkalpinang itu.
Sementara itu pelajaran simulator sendiri lebih memadukan pelajaran teori-teori tersebut hingga akhirnya dipraktekkan dengan pesawat latih. Seperti cara landing dan take off, check list atau prosedur, radio telefoni, serta instrumen-instrumen pesawat lainnya.
"Ada pelajaran fase instrumen, di mana kita hanya menggandalkan instrumen yang ada di pesawat karena tidak bisa melihat ke luar atau visual. Misal saat kita masuk ke dalam awan," beber Imam.
"Wah itu seru. Saya pernah punya pengalaman. Waktu masih jadi siswa, ada pelajaran itu, saya pas duduk di belakang teman yang bawa. Dia nggak sadar pas miring sudah sampai 60 derajat. Saya panik dia makin miring. Itu namanya special disorientation. Begitu dicover kita sudah hilang ketinggian 100 feet. Itu unik, berhubung ini pesawat standar, nggak bisa banyak manuver," cerita Johan mengimbuhi.
Johan pun menambahkan, hal-hal paling seru saat mengajar adalah ketika siswanya merasa kagetan. Itu terjadi saat mereka sedang membawa pesawat latih.
"Pernah pas latihan kedaruratan dimatikan mesinnya sama instruktur. Ada satu pernah bukannya dicover malah teriak 'astaga'," kenang Johan sambil tertawa.
Di NAM Flying School sendiri memiliki 9 instruktur. Satu dari 9 pelatih itu adalah perempuan yang bernama Ratu Sophia Purnasari. Wanita yang diakrab dipanggil Sophie ini mulai bergabung di dunia penerbangan tidak langsung setelah lulus SMA. Ia sempat mengenyam pendidikan terlebih dahulu di bangku kuliah jurusan teknik hingga bekerja di sejumlah perusahaan swasta di Jakarta.
"Baru ada panggilan hatinya setelah kerja. awalnya pengen dari pas lulus SMA tapi nggak boleh sama papa. Pas papa meninggal diajak sama kakak, tapi belum mau. Baru setelah 3 kali diajakin, aku terpanggil," kisah Sophie.
Meski berada di tengah-tengah lingkungan yang kebanyakan laki-laki, Sophie mengaku tidak masalah. Toh menurutnya apapun gendernya, ia kini juga sudah menjadi pilot bahkan juga sekaligus seorang instruktur.
"Lagian udah biasa. Kuliah aku teknik kebanyakan cowok semua. Terus waktu SMA temen-temenku rata-rata juga cowok, aku dulu di SMUT Krida Nusantara itu kan semi militer," jelas wanita berusia 30 tahun ini.
Sekolah pilot NAM ini juga untuk untuk awal masuk siswa diwajibkan mengikuti pelatihan dasar semi militer selama 2 minggu dan dilatih oleh personel TNI AL dari Lanal setempat. Sophie pun berharap ke depan ia bisa menjadi pilot perempuan yang mengharumkan nama Indonesia.
"Setelah abis kontrak, Insya Allah mau ke airlines, pengennya ke Garuda. Kalau bisa aku mau berkarier di airlines internasional bawa nama Indonesia. Aku yakin bisa," tutup Sophie. (elz/mok)