Paskibraka dan Perjalanan Berliku Sang Bendera Pusaka

Pemuda Pemudi Paskibraka

Paskibraka dan Perjalanan Berliku Sang Bendera Pusaka

Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Selasa, 25 Agu 2015 11:00 WIB
Paskibraka dan Perjalanan Berliku Sang Bendera Pusaka
replika bendera pusaka (Foto: agung pambudhy)
Jakarta - Bendera pusaka merah putih tak bisa dilepaskan dari para pemuda pemudi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Bagaimana kisahnya?

Salah seorang pembina Paskibraka, Syaiful Azram (55), bercerita soal bendera pusaka yang dibentangkan pada tahun 1945. Kala itu, bendera tersebut hasil jahitan ibu negara Fatmawati.

"Pada agresi Belanda ke dua yaitu tahun 9 Desember 1948, presiden dan Wapres dan beberapa pejabat pemerintah Indonesia diasingkan oleh Belanda," ujar pengibar bendera merah putri tahun 1978 tersebut saat berbincang dengan detikcom di bumi perkemahan Cibubur, Senin (24/8) kemarin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum para tokoh tersebut diasingkan, bendera pusaka dititipkan kepada ajudan Sukarno, Husein Mutahar. Bendera itu dibuka jahitannya dan dipisahkan antara merah dan putih agar tidak disita oleh Belanda.

"Ketika dititipkan Sukarno, bendera itu dibuka oleh Husein Mutahar waktu itu bendera putih dilipat dan disimpan di dalam koper, sementara bendera merah dililitkan di pinggang," paparnya.

Dalam Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, ada dialog antara Sukarno dan Mutahara:

"Tindakanku yang terakhir adalah memanggil Mutahar ke kamarku (Presiden Soekarno, Pen)." Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu," kataku ringkas. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Disatu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera ini, percayakan tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya,"

bendera pusaka dan replika


Setelah membawa bendera, ajudan Sukarno itu tertangkap hingga akhirnya dibawa ke Semarang untuk menjadi tahanan kota. Namun berberkal kemampuannya sebaga anggota TNI AL, Husein Mutahar berhasil melarikan diri ke Jakarta. Di sana, dia tinggal di rumah kapolri Said Soekanto Tjokroaminoto di kawasan Pegangsaan Timur.

Syaiful mengatakan, selama agresi Belanda II, komunikasi ajudan dengan presiden Sukarno tetap berjalan dengan dibantu oleh Sudjono. Sehingga meski diasingkan Belanda di Bangka, pemerintahan Indonesia masih terus berjalan.

"Waktu itu Sudjono dititip pesan oleh Bung Karno untuk mengambil bendera kak Mutahar, kemudian nendera itu dijahit lagi dengan meminjam mesin jahit istri seorang dokter. Jahitannya pun mengikuti lubang jahitan ibu Fatimah, namun meski telah mengikuti pola jahitan yang ada, tetap juga ada salah. Oleh karena itu beliau mengetahui bendera pusaka itu ada terdapat beda jahitan 2 cm di bagian ujung. Selanjutnya bendera dibungkus koran dan dibawa ke Sudjono untuk diserahkan kepada Bung Karno," paparnya.

Akhirnya, bendera pusaka pun bisa kembali berkibar saat upacara di Yogyakarta, tepatnya di Gedung Agung. Sang saka merah putih telah kembali ke pangkuab poklamator. Merah putih kembali berkibar.

"Waktu pemerintahan Indonesia berada di Yogya pada tanggal 6 Juli 1949. Kemudian pada 28 Desember 1949 bendera itu dibawa lagi ke Jakarta untuk dikibarkan di Istana Merdeka mulai tahun 50 sampai 66, pengibaran bendera dilakukan oleh rumah tangga istana," papar Syaiful. (edo/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads