dr Koko merupakan Direktur RS Panca Dharma, Pasuruan, dan memiliki anak buah 60 orang. Pada Januari 2010, sebanyak 34 orang membuat serikat pekerja dengan ketua Edi Susanto dan didaftarkan ke Disnakertrans Pasuruan. Setelah mengantongi surat serikat pekerja, Edi bersama kawan-kawannya meminta kenaikan gaji tapi tidak digubris Koko.
Tidak hanya itu, Edi yang sehari-hari sebagai petugas keamanan malah tidak mendapat upah. Beberapa hari setelah itu nama Edi dan teman-temannya tidak terdaftar dalam absen karyawan. Edi dkk melaporkan hal tersebut ke Disnakertrans dan Koko harus berurusan dengan pengadilan. Koko didudukkan di kursi pesakitan atas kasus union busting dengan dakwaan Pasal 43 jo Pasal 28 UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Selain itu, dr Koko juga didakwa dengan ancaman penjara karena membayar gaji karyawan di bawah UMR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak patah arang, Edi dkk lalu melakukan upaya hukum kasasi. Edi dkk yakin jika perbuatan dr Koko telah memenuhi unsur-unsur delik pidana sehingga harus bisa diadili di pengadilan umum. Atas permohonan ini, Mahkamah Agung (MA) mengabulkannya.
"Memerintahkan kepada PN Bangil untuk membuka persidangan kembali dan memutus pokok perkara dalam perkara ini serta mengirimkan berkas perkaranya setelah pokok perkara diputus tersebut ke MA," putus MA sebagaimana dilansir website MA, Selasa (25/8/2015).
Duduk sebagai ketua majelis kasasi adalah hakim agung Imron Anwari dengan anggota hakim agung Salman Luthan dan hakim agung Andi Samsan Nganro. Ketiganya menyatakan tidak ada ketentuan yang mensyaratkan bahwa penuntutan pidana dilakukan setelah penyelesaian administrasi dan pengadilan hubungan industrial selesai dilakukan.
"Berdasarkan fakta yang terungkap, Direktur RS Panca Dharma terbukti membayar upah pekerja Rp 802 ribu, padahal UMK Kabupaten Pasuruan Rp 955 ribu. Terdakwa juga terbukti menghalangi pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja dengan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Edi Susanto dan Aniek Kusuma Wardani yang semula menjabat Kepala bagian Operasi RS dimutasi menjadi Kepala Perawat," putus majelis pada 17 September 2014.
Berdasarkan UU Serikat Pekerja, pelaku union busting maksimal dihukum 5 tahun penjara dan union busting merupakan kejahatan. Dalam Pasal 43 disebutkan:
Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 500 juta. (asp/nrl)