Warga Kampung Pulo: Kami Bukan Warga Liar

Warga Kampung Pulo: Kami Bukan Warga Liar

Yudhistira Amran Saleh - detikNews
Jumat, 21 Agu 2015 19:48 WIB
Warga Kampung Pulo: Kami Bukan Warga Liar
Foto: Yudhistira AS
Jakarta - Ustad Kholili berbicara mengenai nasib warga Kampung Pulo, Jaktim. Sebagai salah satu tokoh masyarakat, dia berharap ada keadilan yang diterima warga. Sama sekali warga tak pernah berniat untuk melakukan aksi anarkis.

"Kita sudah sepakat tak akan melakukan perlawanan dan juga anarkisme. Dan kita mengharapkan agar tidak ada yang terluka. Inginnya kami, kita gencatan senjata dululah. Biarkan tokoh masyarakat menenangkan warga dulu. Kita berpikir logis. Jangan pemimpin itu menyuruh-nyuruh demo," jelas Kholili dalam jumpa pers di Kampung Pulo, Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Kholili bahkan bertanya-tanya soal siapa yang menyuruh demo. Warga sama sekali menolak aksi anarkis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal-hal seperti itu tidak kami inginkan. Kami inginkan mengikuti irama dari Pemprov. Walaupun kata-katanya kasar, arogan, sempet kami katakan melawan bapak satu lawan satu tapi itu untuk hal darurat. Yang sangat menyakitkan kami kita dituduh warga liar," tambah dia.

Kholili dalam jumpa pers itu menunjukkan sertifikat yang dia buat seharga Rp 30 juta. Tapi sama sekali tak digubris.

"Padahal kami di situ bersurat, berdasarkan diatas sertifikat. Buat seritifikat ini saja Rp 30 juta. Saya juga udah utarakan bahwa dampak relokasi ini sudah diperhitungkan belum? Bahkan ada mantan RW nangis, teman saya bilang, saya tidak menangis, tetapi ketika rumah warga kami digusur, saya menangis. Ini merupakan betapa kuatnya ikatan batin," ungkapnya.

"Yang seenaknya saja dibilang melanggar hukum. Itu kata-kata seperti itu sangat menyakitkan. Bagi kami kata-kata itu menyakitkan. Kami tidak dipandang sebagai manusia yang punya perasaan. Saya bukan termasuk orang yang digusur, tapi bibi saya dan saudara saya digusur. Saya menangis bukan rekayasa tapi kenyataan," tambahnya.

Sementara menurut Romo Sandy yang juga berasal dari komunitas Ciliwung Merdeka, menurutnya warga Kp Pulo ini merupakan komunitas yang sederhana dan luar biasa, sangat terbuka, rasional, punya hati dan jiwa untuk membela masyarakat dan tanah airnya. Kampung Pulo luasnya 85 hektar dan penduduknya lebih dari 8.000 KK.

"Sebetulnya sangat luas. Ini yang terkena ini menurut Perda I tahun 2012. Tapi kalau ikut Perda 1 tahun 2014, ini bakal kena di seluruh Kampung Pulo. Maka warga keprihatinannya bukan sebatas ganti rugi sama sekali. Keprihatinannya adalah tanah warga yang sudah dimiliki sejak tahun 1930, saya sudah meneliti bersama para pakar bahwa kampung ini berdiri sebelum tahun 1930. Kampung ini wilayah yang penting dulu dan menjadi pusat perekonomian di Jakarta," jelas dia.

"Kampung ini dulu hanya sebatas hutan. Untuk lahan statusnya diberikan oleh pemerintah kolonial. Sebelum tahun 1930 itu. Dan kepemilikan itu juga didukung oleh UU Agraria tahun 1960. Pemerintah memfasilitasi peningkatan statusnya menjadi sertifikat. Dan bahkan Pemerintahan Jokowi sedang meningkatkan status kepemilikkannya menjadi sertifikat melalui Menteri Agraria," imbuh dia lagi.

Namun ternyata dalam kelanjutannya pemerintah mengatakan bila Kampung Pulo tanah negara. Stigma dibangun kalau warga merupakan warga liar dan ilegal.

"Padahal mereka punya RT/RW, Kelurahan. Hal itu sangat menyakitkan hati mereka warga Kampung Pulo. Seperti kemarin itu di Kampung Pulo juga listrik dimatiin. Dipadamkan, ngak tahu kenapa. Pas chaos juga gang-gang ditutup. Juga nggak tahu kenapa. Cara seperti menembakkan gas air mata saya kira tidak bisa dibenarkan. Mungkin kita perlu mengevaluasi kembali langkah-langkah kemanusiaan yang harus dilakukan," tutup dia. (yds/dra)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads