Wajah Langit Papua, Saat Keindahan dan Ancaman Bahaya Menjadi Satu

Tragedi Trigana Air

Wajah Langit Papua, Saat Keindahan dan Ancaman Bahaya Menjadi Satu

Elza Astari Retaduari - detikNews
Rabu, 19 Agu 2015 13:20 WIB
Foto: Elza
Papua - Angin yang menghempas pesawat perintis dalam perjalanan ke daerah pegunungan di Papua sudah jadi hal yang biasa. Seringnya kabut yang menutup pegunungan sudah menjadi lumrah mengingat medan perjalanan menuju pedalaman Papua yang sulit.

Belum adanya infrastruktur darat menjadikan pesawat perintis adalah satu-satunya armada yang bisa digunakan untuk datang dan pergi ke wilayah pegunungan Papua. detikcom berkesempatan untuk datang ke Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua yang berada di ketinggian kurang lebih 2.300 Mdpl.

Untuk bisa sampai Ilaga, detikcom dari Jakarta harus terlebih dahulu sampai di Timika, Kamis (13/8/2015). Rencananya bersama rombongan, detikcom akan langsung naik pesawat perintis dari Bandara Mozes Kilangin Timika untuk mencapai Ilaga namun karena berdasarkan informasi cuaca angin sangat kencang, maka penerbangan siang itu menuju daerah pegunungan Papua dihentikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Angin di atas 25 knot. Sudah tidak bisa naik lagi. Musim kemarau kayak gini emang angin kencang jadi sekarang paling aman penerbangan pagi antara jam 07.00-12.00 WIT aja. Kadang cuma sampai jam 10.00 WIT. Padahal biasanya bisa sampai jam 14.00-15.00 WIT," ungkap petugas bandara, Fery kala itu memberikan penjelasan.

Suasana di dalam kokpit (foto: Elza)


Esok harinya, detikcom bersama rombongan akhirnya bisa terbang pagi hari karena angin belum terlalu kencang. Dari pantauan sepanjang perjalanan, medan menuju Ilaga dan daerah-daerah pedalaman Papua yang berada di pegunungan sangat sulit.

Tebing-tebing curam ada di kanan kiri, tak jarang pesawat harus masuk ke dalam awan atau kabut dengan kondisi pegunungan ada di depan atau samping. Seorang rekan perjalanan, Coky Anderson, mengaku pernah merasakan 3 menit berada dalam kondisi seperti itu.

"Saya sudah beberapa kali pergi ke Ilaga. Pernah masuk awan nggak kelihatan apa-apa lagi selama 3 menit. Angin juga bikin kita terombang-ambing. Karena pesawatnya kan kecil jadi terasa banget. Serem juga," cerita Coky dalam perjalanan.

Terlepas dari itu, jika cuaca cerah penumpang bisa melihat pemandangan pegunungan yang cukup menakjubkan. Dari atas kompleks penambangan Freeport juga terlihat. Gunung Cartenz berdiri gagah dengan penampakan saljunya. Di daerah dekat Cartenz ini cuaca mulai berubah drastis. Dari pantauan di pesawat, suhu berada di 5 derajat celcius. Bahkan kaca pesawat sangat dingin seperti membeku.

Pegunungan Cartenz (foto: Elza/detikcom)


Ada tanda untuk masuk ke daerah Kab Puncak. Sebuah pegunungan yang terlihat seperti penuh relief menjadi tanda pertama. Oleh penduduk setempat pegunungan tersebut dinamakan Borobudur. Kemudian ada sebuah lokasi di antara pegunungan-pegunungan yang disebut sebagai pintu masuk.

Jika di daerah tersebut tertutup kabut, maka wilayah Ilaga tak bisa dimasuki. Pilot biasanya akan memilih untuk berputar balik dan kembali ke Timika. Di pintu masuk ini anginnya sangat kencang. Berkali-kali pesawat perintis yang dinaiki detikcom terhempas ke atas dan ke bawah. Kadang pilot harus memutar beberapa kali untuk bisa aman landing di Bandara Ilaga.

Banyak gunung yang bisa dilihat selama perjalanan. Ada gunung gergaji yang lokasinya dekat dengan jatuhnya pesawat Trigana Air. Dari dalam pesawat penumpang juga bisa melihat pesawat perintis lain yang berada di samping atau di atas bawahnya.

Lalu ada gunung meja yang bentuk puncaknya datar, dan juga ada gunung Kelabu yang oleh penduduk dijadikan acuan cuaca. Jika di siang hari gunung kelabu tertutup kabut, maka udara tidak akan terlalu dingin. Namun jika terang maka udara di malam hari akan sangat dingin mencapai suhu di atas normal untuk wilayah tropis.

Foto: Elza/detikcom


Kondisi yang berada di daerah curam menjadikan posisi bandara Ilaga cukup menyeramkan. Tak ada ATC di lokasi sehingga pilot harus mengandalkan visual untuk bisa landing atau take off. Atau komunikasi dilakukan melalui radio amatir dengan anggota Paskhas yang menjaga bandara. Landasan pun sangat pendek sehingga memerlukan pilot berpengalaman dan yang telah terbiasa di wilayah tersebut.

Sementara itu saat turun dari Ilaga, Rabu (19/8/2015), perjalanan terasa lebih mudah. Pasalnya, untuk menuju Timika perjalanan tidak akan terlalu berat setelah wilayah pegunungan bisa dilewati. Namun angin kencang juga membuat pesawat beberapa kali mengalami hempasan. Bahkan 2 kali pesawat masuk ke dalam awan selama waktu yang cukup agak lama dengan kondisi pegunungan di samping kanan dan kiri.

"Memang medannya agak berat. Anginnya sangat kencang, cuaca bisa tiba-tiba berubah di atas. Kadang sudah mau sampai tidak bisa mendarat di Ilaga karena berkabut atau angin kencang jadi kembali lagi ke Timika," ucap pilot pesawat Jhonlin Air yang membawa detikcom dan rombongan, Chris.

Kondisi seperti inilah yang membuat barang-barang di daerah pegunungan sangat mahal. Tiket pesawat dari Timika menuju Ilaga kelas komersil seharga Rp 2,5 juta dengan perjalanan kurang lebih 30 menit. Barang-barang kebutuhan harganya selangit karena untuk membawa barang dari Timika dihitung dengan harga perkilogram.

"Di sini HP lebih murah dibanding beras. Air mineral 1 literan itu harganya Rp 50 ribu karena berat kan. Sekilo itu biaya naik pesawat kisaran Rp 15-25 ribu," cerita seorang penduduk pendatang di Ilaga, Indar, Senin (17/8).

Foto: Elza/detikcom


Untuk itu Bupati Puncak Willem Wandik berharap agar pemerintah pusat bisa membangun infrastruktur jalur darat. Dari Timika menuju Grassberg sebenarnya sudah ada jalan namun akses hanya bisa digunakan oleh Freeport. Dari Grassberg menuju Ilaga hanya perlu membuka jalan sepanjang 80 km.

"Kami minta, akses jalan yang sudah dibuka dari Timika oleh Freeport sampai Grassberg bisa dibuka. Kami minta Freeport kasih kompensasi, buka jalan dari Grassberg ke sini hanya 80 km. Kami tidak minta uang, hanya buka akses saja. Silakan ambil (hasil tambang), silakan tambang," tutur Willem sebelumnya, Senin (17/8).

"Presiden selama ini bilang harus buka akses sebagai program nawacita. Saya sebagai pemkab memberi solusi. Transpapua yang harus dibuka selatan ke pegunungan tengah. Timika-Grassberg-Ilaga-Wamena," sambungnya.

Jika jalur darat dibuka, bukan hanya harga-harga logistik saja yang akan turun di daerah pegunungan. Alternatif jalan bisa mengurangi potensi kecelakaan jalur udara karena medan di Papua yang sulit. Bahkan Wapres Jusuf Kalla mengatakan risiko penerbangan tertinggi ada di Papua.

"Papua itu memang bukan daerah yang mudah untuk penerbangan karena bergunung-gunung, cuaca. Risiko penerbangan tertinggi itu Papua," tukasnya, Selasa (18/8)
Halaman 2 dari 4
(elz/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads