MK Gelar Simposium Internasional Bahas 'Constitutional Complaint'

MK Gelar Simposium Internasional Bahas 'Constitutional Complaint'

M Iqbal - detikNews
Sabtu, 15 Agu 2015 17:11 WIB
MK Gelar Simposium Internasional Bahas Constitutional Complaint
Foto: M Iqbal
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengundang sejumlah hakim konstitusi dari beberapa negara guna membahas 'constitutional complaint' dalam simposium internasional. Masing-masing negara bercerita soal constitutional complaint di negara masing-masing.

Acara yang diberi nama 'International Symposium on Constitutional Complaint' itu digelar di Fairmont Hotel, Jalan Asia Afrika, Jakarta tanggal 15-17 Agustus. Forum digelar secara panel yang menghadirkan beberapa pembicara dari berbagai negara.

Beberapa ketua MK atau hakim konstitusi yang diundang hadir yaitu dari Mongolia, Thailand, Malaysia, Uzbekistan, Vietnam, Turki, Azerbaijan, Filipina, Kazakhstan, Chile, Algeria, Timor Leste, Federasi Rusia, Maroko, Myanmar, Afghanistan dan lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hakim konstitusi Indonesia Dewa Gede Palguna yang juga menjadi pembicara pada siang ini, memaparkan bahwa Indonesia belum mengenal constitutional complaint (pengaduan/gugatan konstitutional) sebagai salah satu objek yang bisa diadili dan diputus oleh MK.

"Ada kecemasan. Pertama, kalau diberikan kewenangan itu, kasusnya langsung menggunung jadi tidak bisa ditangani dengan baik. Kedua ada kekhawatiran overlap dengan institusi lain baik lembaga peradilan atau lembaga seperti Ombudsman, Komnas HAM dan lainnya," kata hakim Palguna di lokasi acara Sabtu (15/8/2015).

Padahal menurutnya, constitutional complaint sebagai upaya hukum luar biasa dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, sudah dikaji lama sejak pembentukan MK dan agar kewenangan yang tak terpisahkan. Yaitu kewenangan selain menafsirkan UU, menangani sengketa pemilu dan lainnya.

"Sudah ada 50-60an kasus constitutional complain di Indonesia (yang diajukan ke MK)," ujarnya.

Namun kasus-kasus itu tidak bisa diadili karena UU MK belum mengatur tentang kewenangan tersebut. Padahal kata Palguna, baik judicial review maupun constitutional complain sama-sama induknya melindungi hak konstitusi warga.

"Cuma kalau judicial review (menguji) normanya, kalau constitutional complaint tindak pejabat publiknya karena merugikan hak konstitusional warga. Karena itu kalau melalui perubahan UUD susah, lebih baik (revisi) UU MK dengan memperluas panfasiran itu," paparnya.

Salah satu negara yang sudah menerapkan constitutional complaint adalah Jerman. Salah satu kasus yang dikabulkan adalah saat warga beragama muslim menggugat larangan menyembelih hewan yang dianggap bertentangan dengan larangan penyembelihan hewan.

Palguna menambahkan, jika MK di Indonesia mempunyai kewenangan dalam mengadili gugatan konstitusional, maka dalam revisi UU MK perlu juga ada perubahan terhadap hukum acaranya. "Di Jerman dengan kewenangan yang ada, MK punya 16 jenis hukum acara," ucap Palguna.

"Acara ini sebagai meeting of mind, pertemuan gagasan, berbagi pengalaman, karena banyak kasus yang dialami masing-masing negara," imbuhnya. (bal/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads