Nama Hendra Gunawan kembali mencuri perhatian hari ini. Penyebabnya, nama tersebut muncul dalam daftar tokoh penerima tanda penghormatan yang dianugerahkan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (13/8).
Penganugerahan tanda kehormatan dari pemerintah itu merupakan hajat tahunan dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI, yang tahun ini merupakan yang ke-70. Jenis tanda kehormatan yang dianugerahkan adalah Bintang Mahaputra, yang terdiri Bintang Mahaputra Adipradana (kepada 4 orang) dan Bintang Mahaputra Utama (18 orang).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hendra Gunawan lahir di Bandung, 11 Juni 1918, dan wafat di Denpasar, 17 Juli 1983. Lebih dikenal sebagai pelukis, Hendra sebenarnya juga seorang penyair, pematung dan juga pejuang gerilya. Pada masa mudanya ia bergabung dengan tentara pelajar, dan merupakan anggota aktif Poetera (Pusat Tenaga Rakyat), serta organisasi lain yang dipimpin Sukarno. Sebagai seniman ia aktif di Persagi (Asosiasi Pelukis Indonesia) yang didirikan oleh S. Soedjojono dan Agus Djaya pada 1938.
Bagi para pecinta seni rupa dan kolektor, nama Hendra Gunawan tentu sangatlah tak asing. Karya-karya lukisnya banyak mengisi bingkai para kolektor barang seni. Dalam sejarah seni rupa di Indonesia, oleh para kritikus dan pengamat, Hendra diakui sebagai salah satu pelukis yang memiliki kemampuan melukis sangat tinggi, dan namanya disejajarkan dengan para maestro baik dalam maupun luar negeri.
Mengenyam pendidikan formal seni lukis sejak awal, Hendra mengawali minatnya di bidang seni dengan bergabung pada sebuah kelompok sandiwara Sunda. Namun, sesuai dengan pendidikannya, perhatiannya kemudian lebih tertuju pada dekorasi panggung. Dari situlah kemampuan melukisnya terasah.
Pertemuannya dengan Affandi makin mendorong Hendra untuk terus mengembangkan bakatnya. Di masa revolusi, bersama seniman lainnya, Hendra ikut mengangkat senjata. Pengalaman di barisan pertempuran memberinya banyak inspirasi untuk melukis. Dari pergulatan itulah lahir karya-karya lukisnya yang bersifat revolusioner, yang kelak di kemudian hari diakui sebagai masterpiece.
Antara lain lukisan berjudul 'Pengantin Revolusi', disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tema yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Keberpihakannya pada rakyat membuat Hendra bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang di kemudian hari terseret dalam huru-hara politik berdarah 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Aktivitasnya itu mengantarkannya mendekam di penjara selama 13 tahun antara 1965-1978.
Di dalam penjara, ia tetap melukis dengan salah satu ciri khasnya menggunakan kanvas berukuran besar. Di akhir hayatnya, seniman yang juga hidup sezaman dan dekat dengan penyair Chairil Anwar ini memilih Bali sebagai tempatnya melewatkan hari tua.
Salah satu karya seni peninggalan Hendra yang hingga kini masih bisa disaksikan masyarakat luas adalah patung batu Jenderal Sudirman di halaman Gedung DPRD Yogyakarta. Walaupun mengembuskan napas terakhirnya di Denpasar, namun jasad Hendra dimakamkan di Purwakarta, Jawa Barat, tepatnya di Pemakaman Muslimin Gang Kuburan yang terletak di Jalan Ahmad Yani. (mmu/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini