Menkum HAM Yasonna Laoly saat ditanya soal ini mengatakan, perlu ada perubahan Undang-Undang untuk mengakomodir usulan tersebut. Salah satu yang memungkinkan adalah soal hukuman mati bagi koruptor.
"Kita hargai rekomendasi mereka, tapi kan harus ada perubahan Undang-Undang kalau soal itu," terang Yasonna saat ditemui usai acara Peresmian Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) di Lapas Anak Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/8/2015)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi memang sudah mengatur soal hukuman mati bagi terpidana korupsi. Namun syaratnya cukup berat. Si napi harus memenuhi unsur pidana korupsi dalam urusan bencana alam dan sosial.
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," demikian bunyi Pasal 2 ayat 2.
Apa maksud keadaan tertentu pada pasal tersebut dijelaskan lebih jauh dalam bab penjelasan Undang-undang tersebut. Apa saja?
"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter," demikian bunyi penjelasan dari Pasal 2 ayat 2 tersebut.
Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 ayat 2 itu sampai saat ini belum pernah didakwakan ataupun menjadi landasan vonis hakim. Hukuman maksimal untuk pelaku korupsi sampai saat ini baru hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada Akil Mochtar dan Adrian Waworuntu.
Soal jenazah koruptor yang tidak disalatkan, Yasonna tak mau berkomentar banyak. Menurutnya, itu urusan para ulama.
"Soal tidak disalatkan, itu ulama-ulamalah yang lebih tahu soal itu," ucapnya. (mad/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini