Perintah MK ini tertuang dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menyatakan pasal Penghinaan Presiden menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Sehingga dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana," demikian putusan MK sebagaimana dikutip detikcom dari websitenya, Jumat (31/7/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut MK, pasal Penghinaan Presiden akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
"Karena upaya-upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden," ucap MK pada 6 Desember 2006 lalu.
Lebih berbahaya lagi, pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden adalah delik biasa, bukan delik aduan. Hal ini berbeda dengan di banyak negara seperti di Jepang. Di negeri Matahari Terbit itu, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.
"Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat 2, dan Ayat 3 UUD 1945," ujar MK.
Namun 9 tahun berlalu, pasal tersebut tiba-tiba kembali disodorkan Presiden Joko Widodo ke DPR. Pasal 263 ayat 1 KUHP yaitu:
Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV
Ruang lingkup Penghinaan Presiden diperluas lewat Pasal 264:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (asp/tor)