Kasus yang dimaksud yaitu pembebasan lahan kampus Faperta di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, pada 1963 silam. Dalam perjalanannya, lahan itu beralih fungsi dan terjadi pelepasan hak ke pengembang yang digunakan sebagai lahan pembibitan pohon jati pada 1998-2007. Versi jaksa, akibat pelepasan hak itu telah menyebabkan kepemilikan hak atas tanah persil 180 oleh Faperta UGM menjadi hilang dan berubah menjadi hak pakai atas nama Yayasan Pembina Faperta UGM dan berakibat negara mengalami kerugian.
Aparat lalu menyelidiki kasus tersebut dan menetapkan empat dosen Faperta UGM sebagai terdakwa yaitu Susamto, Ken Suratiyah, Toekidjo dan dr Triyanto. Keempatnya lalu dituntut masing-masing selama 3 tahun penjara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas vonis ini, para terdakwa lalu mengajukan banding. Gayung bersambut yaitu PT Yogyakarta mengurangi hukuman keempatnya menjadi 1 tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana penjara masing-masing 1 tahun dan denda masing-masing Rp 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," putus majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (30/7/2015).
Duduk sebagai ketua majelis Emmy Herawati dengan anggota Johannes Sugiwidarto dan Nurwigati. Vonis ini diwarnai dissenting opinion yaitu hakim Nurwigati menilai hukuman 2 tahun penjara yang dijatuhkan PN Yogyakarta sudah tepat dan tidak perlu dikurangi.
"Putusan PN Yogyakarta sudah tepat dan benar serta memenuhi rasa keadilan dengan pertimbangan memperhatikan sifat tindak pidana, hal-hal yang memberatkan dan meringankan, keadaan saat tindak pidana ini dilakukan serta tujuan pemidanaan yang dalam hal ini untuk mencegah supaya hal yang serupa tidak terulang lagi," ujar Nurwigati.
Dalam kasus ini, keempat terdakwa tidak ditahan. (asp/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini