Tanya Jawab Soal Alquran dan Hikmahnya (2)

Ramadan 2015

Tanya Jawab Soal Alquran dan Hikmahnya (2)

Salmah Muslimah - detikNews
Kamis, 09 Jul 2015 16:24 WIB
Foto: Shahin Olakara/Flickr
Jakarta -

Pertanyaan seputar Alquran dan hikmahnya kerap dilontarkan sejumlah pembaca forum question and answer detikRamadan setiap tahunnya. Berikut sejumlah pertanyaan dan jawaban yang sudah dirangkum di halaman khusus yang mengulas hal tanya jawab seputar Alquran dan hikmahnya.

14.Bagaimana caranya membuang buku atau stiker lama yang ada huruf-huruf Alquran nya?

Agar kertas itu tidak disalahgunakan orang, sebaiknya kertas atau stiker bertuliskan ayat Alquran yang sudah tidak terpakai dihancurkan atau dibakar. Demikian, wallahu a'lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)

15. Sah tidak jika membaca Quran dengan huruf latin?

Hemat kami, tidak mengapa membaca Alquran dengan huruf latin bila tidak bisa membaca huruf Arab. Tetapi, perlu diketahui bahwa hingga kini belum ada transliterasi yang benar-benar bisa menggambarkan bacaan Alquran secara tepat. Transliterasi yang ada baru bisa dikatakan mendekati, tetapi belum tepat sama. Saran kami belajarlah membaca huruf Alquran. Saat ini sudah banyak sekali metode belajar membaca huruf Alquran secara cepat. Demikian, wallahu a'lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran.)

16. Bolehkan membawa HP beraplikasi Alquran ke toilet?

Tidak ada masalah memasang aplikasi Alquran di HP yang kadang-kadang terbawa ke kamar kecil. Anjuran untuk tidak membawa HP yang mempunyai aplikasi Alquran ke dalam kamar kecil lebih sebagai penghormatan. Tetapi kalau itu menyulitkan (mau ditaruh di luar tetapi tidak ada orang yang bisa dititipi, dsb.), tidak mengapa HP dibawa ke dalam, tentunya dalam keadaan aplikasi Alqurannya tertutup (tidak aktif). Demikian, wallahu a'lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)

17. Hukum tadarus di masjid dengan menggunakan pengeras suara yang kadang-kadang dilakukan sampai tengah malam dan seringkali juga tadarus tersebut dilakukan tidak dengan lagu (tartil) yang benar karena membacanya sangat cepat. Sehingga jadinya tidak enak didengar dan mengganggu?

Pengeras suara merupakan alat yang bila digunakan pada tempatnya akan merupakan sesuatu yang sangat baik dan membantu. Bila disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, serta melahirkan citra yang kurang baik, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar sumbang. Karena itu, dalam azan misalnya, Rasul SAW berpesan, "Hendaklah yang mengumandangkan azan di antara kamu adalah yang paling baik (suaranya), dan hendaklah juga yang menjadi imam adalah yang paling baik bacaannya."

Suara mempunyai pengaruh bagi jiwa seseorang. Azan, doa bersama, pembacaan Alquran, dianjurkan dengan suara yang dapat menggugah pendengarnya untuk memperkenankan panggilan Ilahi, bukan sebaliknya. Karena itu, Alquran menyetujui dan mengabadikan nasihat Luqman kepada anaknya, antara lain, "Lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai."

(Reuters)



Dalam hal membaca ayat-ayat Alquran, atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat Islam: Katakanlah, "Berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik). Janganlah mengeraskan suaramu dalam shalat dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara keduanya (QS al-Isra' (17): 110).

Ada beberapa riwayat menyangkut turunnya ayat ini yang dapat dijadikan petunjuk sekaligus menjawab pertanyaan Anda di atas. Pertama, menurut sahabat Nabi, Ibnu 'Abbas, Rasul saw mengeraskan suara beliau ketika membaca (Alquran dan sebagainya). Orang-orang musyrik mendengarnya, mereka pun memaki beliau, maka Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa jika suara keras dalam bacaan/doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, atau dapat melahirkan pandangan negatif, atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk.

Kedua, Nabi Saw berkeliling di rumah sahabat-sahabat beliau di waktu malam. Beliau mendengar Abu Bakar ra berada di rumahnya berdoa dan membaca Alquran dengan suara yang sangat lembut. Dan, sebaliknya, ketika melewati rumah 'Umar ra beliau mendengar suara sahabatnya yang satu ini sedemikian keras.

Keesokan hari, kedua sahabat tersebut berjumpa dengan beliau, dan beliau bertanya kepada Abu Bakar ra mengapa terlalu mengecilkan suaranya. Abu Bakar ra. menjawab, "Aku berdialog dengan Tuhanku dan (aku merasa tidak perlu mengeraskan suara) karena Dia telah mengetahui kebutuhanku." Sementara 'Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya, menjawab, "Saya menghardik setan dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur."

(CNN)



Nah, mendengar jawaban mereka, turunlah ayat di atas. "Jalan tengah di antara keduanya" yang dianjurkan oleh ayat tersebut bisa berarti anjuran untuk mengeraskan suara pada saat tertentu dan mengecilkan pada saat yang lain, atau dapat juga berarti perintah untuk berdoa atau membaca tidak terlalu keras sehingga mengganggu dan tidak pula terlalu kecil sehingga tidak terdengar oleh mereka yang butuh mendengarnya.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa para sahabat Nabi pernah bertanya kepada beliau tentang Allah: Apakah Allah jauh sehingga dalam berdoa harus dengan suara keras, ataukah dekat sehingga cukup dengan suara yang sayup-sayup sampai. Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Allah dengan firman-Nya, Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), "Aku dekat, Kuperkenankan doa siapa yang berdoa apabila dia (sungguh-sungguh) berdoa" (QS. al-Baqarah (2): 186).

Jika demikian itu halnya maka tentunya berdoa dan membaca Alquran tidak harus dengan pengeras suara —dan di zaman Nabi pun tidak ada pengeras suara. Akan tetapi, tentu saja, tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu selama tidak mengganggu, khususnya mengganggu anak-anak, orang sakit, kaum Muslim yang bangun pagi untuk berzikir dan tafakur, atau yang masih ingin melanjutkan sedikit tidurnya sebelum waktu Subuh berlalu.



Hemat saya, sementara kita ada yang ingin memperoleh ganjaran dari satu amalan, tetapi terkadang kita lupa bahwa akibat amalan itu dapat menimbulkan gangguan sehingga pahala yang diperoleh hilang akibat gangguan yang terjadi. Boleh jadi menarik untuk diketahui pandangan Mufti Mesir, Syaikh Muhammad 'Abduh, ketika ditanyai tentang berdoa dengan mengeraskan suara sesudah azan. Beliau menjawab —sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad asy-Syarabashi dalam bukunya Yas'alunaka— lebih kurang sebagai berikut, "Apa yang dibaca dengan suara keras sebelum dan sesudah azan (berupa shalawat dan semacamnya) adalah bid'ah. Tujuannya adalah talhin (melagukan sesuatu). Tidak wajar menamai hal tersebut bid'ah yang baik."

Selanjutnya, asy-Syarabashi menjelaskan bahwa, konon, mengulang-ulang shalawat sesudah azan diperkenalkan oleh Shalahuddin 'Abdullah bin 'Abdullah al-Barlasi di Mesir pada 791 H. Para ulama juga menegaskan bahwa salah satu yang termasuk bid'ah yang buruk adalah apa yang diulang-ulang oleh para muazin berupa tasbih dan istighfar sebelum azan Subuh. Ini tidak sejalan dengan Sunnah Rasul Saw yang bersabda, "Janganlah kalian saling mengeraskan suara dalam bacaan."

Kalau Nabi Saw melarang untuk saling mengganggu, maka tentu mengganggu orang lain dengan suara bagaikan nyanyian di satu saat, atau teriakan di saat lain lebih terlarang lagi. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)



18. Allah sudah menuliskan takdir kita yaitu jodoh, mati, dan rezeki kita dalam Lahfudz Maudz sebelum kita diciptakan. Ustad, siapakah yang sebenarnya dikatakan Allah sebagai jodoh kita? Apakah istri kita? Bagaimana dengan orang yang 'maaf' mempunyai istri lebih dari seorang, apakah dia juga sudah ditakdirkan dengan hal tersebut?

Kata 'takdir' terambil dari kata qaddara yang, antara lain, berarti memberi kadar atau ukuran. Jika Anda berkata, "Allah menakdirkan," itu berarti "Allah memberikan kadar atau ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, dan kemampuan makhluk-Nya."

(CNN Indonesia)



Segala sesuatu, kecil atau besar, telah ditetapkan oleh Allah takdir baginya. Bacalah, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu lalu Dia menetapkan atasnya qadr/ketetapan dengan sesempurna-sempurnanya (QS al-Furqan (25): 2). Lalu, Matahari beredar di tempat peredarannya, demikian itulah takdir/ ukuran yang ditentukan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS Yasin (36): 38).

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar/ ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang dinamai takdir. Tidak ada sesuatu tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan.

Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu takdir/ ukuran batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dia tidak mampu melampauinya, kecuali jika dia menggunakan akalnya untuk menciptakan suatu alat. Namun, akalnya pun mempunyai ukuran/ batas yang tidak mampu dilampaui. Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.

Hanya saja, karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih—tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya—maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir/ ukuran-ukuran yang ditetapkan Tuhan itu yang sesuai dengan kita. Pilihan adalah hak kita.

Ketika di Syam (Suriah, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, 'Umar bin Khaththâb yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau. Dan ketika itu, tampillah seseorang bertanya, "Apakah Anda lari/ menghindar dari takdir Tuhan?" 'Umar RA menjawab, "Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan ke takdir-Nya yang lain."

Berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Bila seseorang tidak menghindar darinya, dia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir. Akan tetapi, bila dia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilah dan memilih?

Surga atau neraka adalah akibat dari pilihan manusia masing-masing. Bukankah Allah telah menegaskan, Kami telah memberikan petunjuk kepadanya (manusia) dua jalan (baik dan buruk) (QS al-Balad (90): 10) dan Dia juga menyatakan, Katakanlah, "Kebenaran bersumber dari Tuhanmu, maka siapa yang ingin (beriman) silakan beriman, dan siapa yang ingin (kufur) silakan kufur" (QS al-Kahfi (18): 29). Pilihan dan dampak-dampaknya itulah yang dinilai Tuhan dan atas dasarnya Allah menetapkan balasan dan ganjaran. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)


19. Kapan waktu turunnya Alquran?

Alquran pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad Saw bertepatan dengan malam ke-17 Ramadan, atau 12 tahun 5 bulan dan 13 hari sebelum hijrah beliau ke Madinah, atau 1 Februari 610 M.

(Thinkstock)



Ini dalam artian turunnya Alquran secara bertahap dan berangsur-angsur dari langit kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat Jibril selama 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Sedangkan pengertian bahwa Alquran diturunkan pada malam Lailatul Qadar, salah satu malam pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, adalah turunnya Alquran sekaligus dari al-Lauh al-Mafuzh ke langit dunia. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)


20. Apa mukjizat Nabi Muhammad?


Mukjizat adalah satu peristiwa yang luar biasa (di luar hukum sebab dan akibat yang kita ketahui) yang terjadi pada diri seorang nabi sebagai bukti kenabiannya. Bukti tersebut ditantangkan kepada mereka yang ragu, dan ternyata mereka tidak mampu melayani atau mendatangkan semacamnya.

Manusia sering meragukan kebenaran informasi yang disampaikan kepadanya, walau yang menginformasikannya adalah seorang yang mengaku nabi atau utusan Tuhan, yang sebelumnya telah dikenal sebagai seorang yang jujur. Dari sini, Allah SWT menganugerahkan kepada utusan-Nya itu bukti-bukti (mukjizat) yang dapat meyakinkan mereka yang ragu.

Bukti tersebut dipaparkan oleh sang nabi, sebagai tantangan, seraya seakan-akan menyatakan, "Kalau kalian meragukan kebenaranku sebagai Nabi, buatlah seperti yang kubuat atau kupaparkan seizin Allah ini!" Tentu saja mereka tidak dapat melakukannya karena kalau mereka mampu, mukjizat yang dipaparkan sang nabi tidak dapat menjadi bukti kebenarannya.

Tantangan tersebut tentunya haruslah sesuatu yang dipahami atau dimengerti oleh yang ditantang. Oleh karena itu, bagaimana Anda menantang seseorang menyangkut hal yang dia tidak mengerti? Mukjizat para nabi selalu berkaitan dengan hal-hal yang sangat dimengerti, bahkan merupakan 'keahlian' masyarakat yang ditantangnya. Perhatikan mukjizat Nabi Musa, Isa, dan Muhammad SAW.

Kaum Tsamud (umat Nabi Shalih) amat mahir dalam bidang seni pahat-memahat. Batu-batu gunung pun mereka pahat dengan amat indah sehingga hasil pahatan mereka bagaikan sesuatu yang hidup. Nah, dari sini, Allah memberikan kepada nabi yang diutus kepada mereka mukjizat berupa keluarnya seekor unta dari sebuah batu yang benarbenar hidup. Begitu tulis ulama-ulama tafsir, semacam ath-Thabari dan Ibnu Katsir.

Ilustrasi (Wikipedia Common)



Di sini, batu, 'dipahat' dalam bentuk unta sehingga unta tersebut bukan saja 'bagaikan' hidup, melainkan benar-benar hidup dengan kehidupan nyata yang mereka lihat dan rasakan sendiri, jauh melampaui kemahiran mereka yang hanya sampai pada batas 'bagaikan hidup'. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah Swt, Tidak ada yang menghalangi Kami untuk memberi bukti-bukti (yang bersifat inderawi) kecuali karena umat-umat terdahulu tetap saja mengingkarinya. Kami telah menganugerahkan kepada Tsamud unta betina sebagai bukti yang amat jelas, tetapi mereka menganiayanya (QS al-Isra' (17): 59).

Ayat tersebut turun berkenaan dengan permintaan kaum musyrik Mekkah untuk menjadikan Bukit Shafa emas dan mengalihkan gunung dari tempatnya. Permintaan mereka tidak dikabulkan dengan alasan seperti bunyi ayat di atas yang seakan-akan ayat tersebut menyatakan bahwa permintaan serupa (mengalihkan batu menjadi sesuatu telah Kami kabulkan pada umat Nabi Shalih, yang saat itu menjadikan batu sesuatu yang hidup—bukan sekadar emas—melainkan mereka tetap mendurhakainya). Oleh karena itu, kita dapat berkata bahwa unta yang dimaksud adalah dalam pengertian hakiki, bukan majazi, sampai-sampai mereka melihatnya berkeliaran dan minum, bahkan mereka dapat minum susu unta tersebut.

Saya tidak menemukan dalam keenam kitab hadis standar, uraian tentang keluarnya unta itu dari sebuah batu. Namun, dari konteks ayat al-Isrâ' di atas, ditemukan bahwa ia merupakan satu mukjizat yang bersifat indrawi. Demikian juga dengan Nabi Musa AS yang umatnya merasa amat mahir dalam bidang sihir-menyihir. Mukjizat Nabi Musa AS Adalah beralihnya tongkat menjadi ular dan menelan semua tali-temali para tukang sihir, yang tadinya mereka telah buat sehingga tampak sebagai ular-ularan.

Mukjizat Nabi Muhammad SAW berbeda dengan mukjizat para nabi sebelum beliau, paling tidak pada dua sisi. Pertama, mukjizat beliau adalah Alquran yang bukti kebenarannya tidak bersifat inderawi (dapat dijangkau oleh pancaindera), tetapi pembuktiannya melalui nalar.

(Getty Images)



Kedua, mukjizat beliau berlanjut, sehingga hingga kini masih tetap ada, berbeda dengan para nabi terdahulu. Mukjizat mereka berakhir dengan kematian mereka. Hal ini disebabkan syariat Nabi Muhammad SAW berlanjut hingga akhir zaman. Seluruh umat manusia dituntut untuk mempercayai dan mengamalkan tuntunan beliau. Berbeda dengan nabi-nabi terdahulu, yang syariatnya khusus untuk kaum mereka dan tidak berlaku sepanjang masa. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)


21. Betulkah surga dan neraka adalah abadi?

Pengertian penghuni surga atau neraka akan kekal dipahami dalam arti kesinambungan keadaan dan keberadaannya dalam keadaan tidak tersentuh oleh perubahan atau kerusakan. Dapat juga dipahami kekal tersebut dalam arti waktu yang sangat lama yang manusia tidak dapat menghitung dan membayangkan.

Sedangkan pernyataan mereka kekal selama ada langit dan bumi seperti yg terdapat dalam surah Hud (11): 107-108 dipahami oleh para ulama tafsir, di antaranya Imam at-Thabari, sebagai ungkapan yang mengukuhkan kekekalan tersebut. Ini dapat diilustrasikan seperti ungkapan dalam bahasa Indonesia "nasi sudah menjadi bubur".

Ilustrasi (Agung Pambudhy)



Anda tidak usah membayangkan nasi dan bubur tapi itu ungkapan untuk menunjukkan bahwa sesuatu sudah terlanjur. Demikian juga ungkapan di atas tidak usah dibayangkan langit dan bumi apa pun melainkan dipahami dalam arti selama-lamanya. Demikian, wallahu a'lam.

(Ali Nurdin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)


22. Kenapa membaca Alquran tidak wajib bagi muslim?

(Reuters)



Harus dibedakan hukum membaca sebagai ritual ibadah dengan pengertian mengimani dan mengamalkan petunjuk Alquran. Untuk membaca sebagai bagian ibadah ritual secara umum dipahami oleh para fuqaha sebagai sunah. Sedangkan mengimani dan berusaha mengamalkan petunjuk Alquran adalah keharusan bagi setiap muslim. Demikian, wallahu a'lam.

(Ali Nurdin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)


23. Apakah bagi orang-orang yang hafiz Alquran apabila hendak ke kamar kecil diberlakukan sama dengan HP yang ada file Alqurannya?

Tentang penghafal Alquran yang masuk toilet berlaku ketentuan seperti layaknya setiap Muslim masuk toilet, di mana adab/ etika juga telah diajarkan dalam Islam. Tentu berbeda dengan mushaf/HP yang di dalamnya terdapat file Alqurannya. Larangan membawanya masuk ke toilet lebih bersifat etis dan sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap kitab suci al Qur'an. Demikian, wallahu a'lam.

(Ali Nurdin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)

24. Manakah yang lebih baik, menghatamkan Alquran tanpa tahu maknananya atau membaca dengan tahu maknanya tapi tidak khatam selama 1 bulan Ramadan?

Kalau Anda sudah terbiasa membaca Alquran tanpa memperhatikan maknanya di luar Ramadan dengan istiqomah sampai khatam, maka sungguh baik kalau diusahakan membaca Alquran disertai usaha memahami maknanya di bulan Ramadan, begitu juga sebaliknya.

Tentang mana yang lebih besar pahalanya ini tergantung kadar keikhlasan dan ke-istiqomah-an kita. Yang jelas kedua cara membaca tersebut harus seimbang kita lakukan, agar kita dapat memetik petunjuk yang ada dalam Alquran. Demikian, wallahu a'lam.

(Ali Nurdin, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)



25. Bagaiamana hukum membaca Basmalah di Surah Al-Fatihah dalam salat?

Nabi SAW melakukan tiga praktik yang berbeda-beda sehingga lahir tiga pendapat besar yang masing-masing ulama hanya menguatkan salah satunya. Tiga pendapat itu adalah: pertama, basmalah bukan bagian dari al-Fatihah sehingga ia tidak boleh dibaca ketika membaca al-Fatihah dalam salat, inilah mazhab Malik.

Kedua, basmalah adalah bagian dari Al-Fatihah sehingga ia harus dibaca —tidak sah salat bila tidak membacanya— serta dianjurkan membacanya dengan suara yang terdengar jelas dalam salat Zuhur, seperti Magrib, Isya, Subuh, dan salat Id, dan dikecilkan bila salat yang tidak dianjurkan mengeraskan suara, seperti Zuhur dan Asar, inilah pendapat Imam asy-Syafi'i.

Pendapat ketiga, membacanya, tetapi dengan suara yang tidak terdengar. Pendapat asy-Syafi'i yang paling banyak diamalkan oleh umat Islam di banyak negara.

Makmum yang hendak membaca basmalah boleh bermakmum kepada imam yang membaca basmalah. Demikian sebaliknya, mengikuti imam yang tidak membaca basmalah tetap sah. Bukankah Imam Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi tidak membaca basmalah atau mengeraskan suaranya ketika membaca al-Fatihah, namun seluruh umat Islam mengikuti mereka dalam salat sebagai makmum?

(Getty Image)



Ibnu Taimiyah menulis: para sahabat Nabi dan generasi sesudahnya ada yang membaca basmalah dan ada juga yang tidak, namun mereka bergantian menjadi imam dan makmum. Begitu juga Abu Hanifah dan asy-Syafi'i serta pengikut-pengikutnya, mereka semua salat mengikuti imam-imam Madinah yang bermazhab Malik walaupun imam-imam itu tidak membaca basmalah, sama sekali, tidak dengan suara keras atau perlahan.

Seorang imam yang bijaksana akan meninggalkan mazhab yang dianutnya dan mengamalkan mazhab orang banyak yang mengikutinya demi persatuan dan kesatuan. Di sisi lain, makmum yang paham tidak akan mempersoalkan imam yang mengamalkan pendapat mazhab yang dianutnya walaupun mazhab imam itu menurut keyakinannya tidak sah untuk diamalkan.

Seseorang yang menganut mazhab yang menyatakan bersentuhan dengan lawan jenis atau muntah membatalkan wudhu, kemudian mengikuti imam yang tidak menganut paham itu, bahkan telah bersentuhan dan muntah —makmum yang mengikuti imam itu— tidak batal salatnya. Demikian pendapat para imam mazhab kendati dalam banyak perincian mereka berbeda pendapat. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran)

Halaman 2 dari 7
(slh/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.