Pelajaran Ramadan dari Tanah Suci, Royal Menjamu Tamu dan Anti Mubazir

Ramadan 2015

Pelajaran Ramadan dari Tanah Suci, Royal Menjamu Tamu dan Anti Mubazir

Yasri - detikNews
Kamis, 09 Jul 2015 14:47 WIB
Foto: Yasri - pembaca detikcom
Jakarta - Setelah puluhan tahun menjalani puasa di negeri sendiri, Indonesia, maka saya juga ingin merasakan bagaimana suasana puasa yang dialami Rasulullah SAW di negerinya sendiri. Untuk itu saya berusaha menjalankan umrah pada awal Ramadan 2015 M/1436 H di Makkah. Tarawih pertama saya masih berada di Madinah, di dalam Masjid Nabawi, tetapi buka pertama, Alhamdulillah, sudah berada di Makkah.

Jika ada yang merasa berat untuk berpuasa di negeri kita sendiri, maka itu belum seberapa dibandingkan dengan puasa di tanah Arab. Lebih berat karena waktunya lebih panjang dibandingkan di Indonesia, serta suhu yang mencapai lebih dari 50 derajat Celcius. Suhu yang panas membuat kulit tumit pecah-pecah dan ada juga pembuluh darah di tumit yang pecah sehingga tumit terasa nyeri.

Jabal Uhud sebagai bukti kelengahan Sahabat setelah menang perang (Foto: Yasri)


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anehnya, saat melaksanakan 3 kali umrah dengan miqat yang berbeda, nyeri itu tidak terasa. Setelah selesai umrah, nyerinya kembali melanda. Itulah keajaiban ibadah.

Hal yang menarik di Masjid Nabawi adalah pada puasa Senin-Kamis. Di dalam masjid banyak dibentangkan plastik putih atau bening yang di atasnya berisi tumpukan makanan berbuka puasa. Walaupun saat itu saya tidak berpuasa sunah karena tidak terlalu mempedulikan hari yang berlalu, tapi tetap ditarik untuk ikut berbuka bersama. Dan ternyata, hidangan masih banyak tersisa sehingga sesudah salat Magrib, sisanya kembali digelar untuk dimakan. Β 

Suasana Masjid Nabawi Madinah di waktu malam (Foto: Yasri)


Yang menjadi hidangan pada saat itu adalah kurma, roti yang awalnya berdiamater sekitar 25 cm kemudian dipotong kecil-kecil berukuran 5X10 cm serta jamu Arab yang awalnya saya kira adalah kopi serta air zam zam yang melimpah ruah walaupun sudah dikeluarkan jutaan galon.

Hal yang aneh menurut saya adalah jika kita memakan hanya sebahagian kecil roti, mungkin karena sudah kenyang atau kurang terbiasa dengan rasanya lalu kita tinggalkan, maka potongan tadi tidak akan dibiarkan sia-sia. Ada saja orang yang mau memakannya. Mereka tidak merasa jijik dengan makanan sisa. Begitu besarnya rasa persaudaraan di sana. Β 

Saat masuk ke sebuah toko pun saya disuguhi gelas berisi minuman yang tinggal sedikit, kurang dari seperempat gelas untuk diminum. Tapi karena saya tidak terbiasa minum sisa orang maka saya menolak dengan mengisyaratkan bahwa saya sudah kenyang. Karena tidak mau, maka ia mengisyarakan saya untuk menyerahkan sisa minuman tadi ke seseorang yang duduk di luar toko, dan orang itu meminumnya. Jadi mereka memang tidak memiliki rasa jijik pada minuman sisa.

Di Makkah saya melaksanakan tawaf pertama pada puasa pertama setelah salat Asar, sesampainya rombongan kami di Makkah. Alhamdulillah semua rukun umrah bisa selesai saat azan Magrib dikumandangkan untuk menandakan waktu berbuka pertama di bulan Ramadan. Suasana seperti di Madinah berulang lagi di Makkah.

Banyak orang yang berdiri di saat orang sedang melaksanakan sa'i untuk menyerahkan buah kurma untuk dimakan saat berbuka nanti. Ini juga membuat orang yang sedang sa'i sebagian ada yang berebutan kurma yang tentu saja sedikit mengurangi kekhusyukan ibadah sa'i yang sedang dijalankan.

Saat azan pun masih banyak orang yang menghantarkan kurma dan minuman semacam jamu yang tidak saya sentuh karena sudah mengetahui rasanya saat di Madinah. Bahkan ada yang mencoba untuk sembunyi agar tidak diberi makanan, tetap mendapat makanan yang berlimpah, sehingga bisa dibawa pulang tidak hanya ke hotel tapi juga ke Indonesia.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian yang dialami, baik di Madinah maupun Makkah itu? Jika dilihat sejarah tentang kakek Nabi, yang merupakan penjaga Kakbah sebelum Nabi Muhammad SAW menyebarkan Islam, adalah penjamu orang-orang yang berkunjung ke Kakbah, maka kebiasaan itu juga diturunkan pada pewarisnya.

Inilah yang mungkin menyebabkan Makkah dan Madinah ramai dikunjungi oleh Muslim dari seluruh penjuru dunia. Allah SWT memberkahi negeri ini karena penduduknya baik pada tamu. Menganggap tamu adalah saudara sehingga tidak ada rasa jijik dengan makanan sisa.

Mungkin ini salah satu teguran atau contoh dari Allah SWT pada saya agar lebih banyak memberi pada orang lain karena pemberian itu tidak akan sia-sia. Allah SWT pasti membalasnya dengan berlipat ganda.Β Β Β Β Β  Β 

Hal kedua yang dapat dipelajari adalah kita juga perlu meningkatkan persaudaraan Muslim. Walaupun bagi kita masih sulit untuk membiasakan memakan sisa makanan orang lain yang tidak kita kenal. Bisa jadi karena sudah berlangsung lama dan sudah menjadi kebiasaan penduduknya, maka Allah SWT hilangkan kemungkinan akan penyakit menular karena memakan atau meminum sisa orang lain. Mungkin ini belum bisa kita lakukan karena banyak juga kejahatan dilakukan lewat makanan atau minuman di negeri kita.

Kesimpulan terakhir yang bisa kita tarik adalah jangan pernah menyisakan makanan. Ambillah makanan sebanyak yang akan sanggup untuk dihabiskan. Enak maupun tidak. Karena menyisakan makanan sama saja dengan mubazir sedangkan orang mubazir adalah teman setan. Lakukan ini di mana saja. Di rumah makan, di pesta, apalagi di rumah sendiri. Jangan pernah tersisa walau hanya sebutir nasi.

Hal menarik sehubungan dengan makanan ini pernah saya lihat pada sebuah acara TV, di mana sekelompok non Muslim sesudah makan maka tempat makan dicuci dengan air minum lalu air cucian piring itu diminum yang membuat piring jadi bersih dan hemat air karena piring tidak perlu dicuci lagi dengan air yang lain.

Kita tidak perlu seekstrem itu. Usahakan jangan membiarkan ada makanan sisa walaupun hanya sebutir. Ajarkan hal ini pada keluarga kita. Mudah-mudahan keberkahan diturunkan Allah SWT pada negeri kita yang kaya raya ini. Amin Ya Rabbal 'Alamin.

*) Yasri adalah dosen, tinggal di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Bagi Anda pembaca detikcom yang memiliki pengalaman berpuasa Ramadan di luar negeri seperti yang dituliskan di atas, bisa menuliskan dan mengirimkannya ke: redaksi@detik.com. Sertakan identitas lengkap, nomor kontak yang bisa dihubungi dan foto yang mendukung kisah Anda.
Halaman 2 dari 1
(nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads