"Menurut MK pembatasan dilakukan secara individual dan bukan kolektif. Pencabutan hak politik oleh pengadilan adalah bentuk pembatasan individual sementara larangan keluarga petahana maju dalam pilkada adalah pembatasan yang sifatnya kolektif," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Kamis (9/7/2015).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tidak menafikkan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden. Sehingga karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia, sudah ada 4 putusan pengadilan yang mencabut hak politik seseorang. Mereka adalah:
1. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, selain dihukum 18 tahun penjara, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
2. Mantan Kakorlantas Irjen Djoko Susilo, selain dihukum 18 tahun penjara, MA juga mencabut hak politik Djoko untuk dipilih dalam jabatan publik.
3. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, selain dihukum 14 tahun penjara, MA juga mencabut hak politik Anas untuk dipilih dalam jabatan publik.
4. Mantan Gubernur Banten Ratu Atut, selain dihukum 7 tahun penjara, MA juga mencabut hak politik Atut untuk dipilih dalam jabatan publik.
Terkait MK yang merestui dinasti politik, Bayu menilai komitmen dan konsensus seluruh partai politik tidak boleh surut. Cara yang dapat ditempuh adalah partai politik tetap komitmen tidak mencalonkan keluarga petahana dalam pendaftaran calon pilkada yang akan dibuka sebentar lagi oleh KPU.
"Jika ternyata parpol berubah sikap pasca putusan MK dengan tetap mencalonkan keluarga petahana maka pada dasarnya parpol telah mengingkari komitmen saat mereka membahas UU Pilkada beberapa waktu lalu untuk mendemokratiskan pelaksanaan pilkada dan untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan di tingkat daerah yang akan membawa manfaat untuk rakyat," pungkas Bayu. (asp/nrl)