Semua itu berawal sejak dia berusia 5 tahun pada 1995, masuk ke bangku Sekolah Dasar seperti orang kebanyakan. Terlalu cepat setahun? Mungkin juga, tetapi ternyata itu tak membuatnya tertinggal dari teman-temannya yang sedikit lebih tua dari dirinya.
"Lulus SD usia 11 tahun, lalu saya melanjutkan ke SMP Negeri 2 Semarang dan menjadi salah satu siswa angkatan pertama di kelas akselerasi. Saya selesaikan SMP 2 tahun saja dari 2001 sampai 2003, lulus di usia 13 tahun. Selepas lulus SMP, saya memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta. Kemudian saya melanjutkan ke SMA Negeri 3 Yogyakarta dan lagi β lagi mengikuti program akselerasi dan lulus dalam 2 tahun pada 2005 di usia 15 tahun," ujar Arief mengawali cerita inspiratifnya dengan detikcom, Senin (6/7/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Passion saya di dunia teknik membawa saya melanjutkan jenjang S1 di Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM di tahun yang sama. Saya lulus dari UGM dalam tempo 3 tahun 9 bulan di usia 19 tahun dengan IPK 3,93 dan lulus sebagai lulusan terbaik saat itu," ungkap dia.
Ketika teman seusianya baru menginjak semester 3 atau 4 di bangku kuliah, dia sudah akan beranjak ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Kehilangan teman? Tentu tidak, karena bagi dia mencari dan mendapatkan teman tak hanya dibatasi oleh tembok kelas yang kaku saja. Justru dia cepat mendapat teman-teman baru ketika naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Tetapi tak semudah itu bagi pemuda asal Semarang ini untuk mengajukan 'proposal beasiswa' ke orang tuanya. Ayahnya adalah pegawai bank yang juga pernah bekerja di perusahaan asuransi mungkin tak langsung setuju dengan keinginan Arief. Terlebih ketika Arief yang menyukai teknologi itu ingin memperdalam ilmunya ke negara yang maju di bidang teknologi, Jepang.
Akhirnya dia memberanikan diri dengan bermodal Rp 700.000 untuk jualan pisang goreng dengan gerobak. 'Bang Kiming' adalah nama dari produk yang dia jual itu yang kelak menjadi sapaan akrab bagi dirinya.
"Sebelum lulus dari UGM, saya memang berkeinginan untuk sekolah lebih tinggi. Pengen coba kuliah di luar negeri, tapi kalau dengan biaya sendiri, rasanya berat untuk keluarga saya. Makanya di semester akhir S1, saya mulai cari-cari beasiswa dan akhirnya saya mendapatkan beasiswa dari pemerintah Jepang untuk melanjutkan studi S2 dan S3," tutur Arief.
Satu bulan setelah berpose dengan toga kelulusan dan selempang 'cum laude' di Grha Sabha Pramana UGM, Arief 'Bang Kiming' pindah ke negeri sakura. Di sana dia tak langsung berkuliah, tetapi harus menjadi asisten peneliti terlebih dahulu selama satu semester.
"Baru tahun 2010 bulan April saya mulai S2 di the University of Tokushima Japan di Department of Mechanical Engineering. Setelah lulus S2 tahun 2012 di usia 22 tahun, saya langsung melanjutkan ke jenjang S3 di universitas yang sama sambil sempat menjadi visiting researcher selama 2 tahun di Department of Energy Sciences Tokyo Institute of Technology," kata dia yang menyandang rekor MURI sebagai Doktor Teknik Termuda Indonesia.
Tak terlalu dia ceritakan bagaimana suasana perkuliahan di negara matahari terbit itu. Hanya sebuah foto yang menampilkan senyum bangga dia bersama ayahnya, Rivai Trimo, dengan latar belakang pohon sakura di musim semi yang indah.
"Sempat mendapatkan berbagai macam penghargaan akademis mulai dari mahasiswa terbaik, young researcher award, best presentation di banyak seminar internasional, akhirnya saya berhasil lulus S3 tahun 2015 tepatnya bulan Maret. Sehingga saya lulus S3 di usia 25 tahun 2 bulan," tutur dia yang saat ini masih tinggal di Jepang.
Mungkin ini yang memicu senyum tersungging dari setiap foto ayahnya bersama dia. Tentu saja, orang tua mana yang tak bangga dengan anak yang mengharumkan nama keluarga dan bangsa serta negaranya?
"Alasan saya sekolah sampai mentok adalah untuk orang tua saya. Saya ingin membuat bangga orang tua saya. Saya juga berkeyakinan, makin tinggi level pendidikan seseorang, makin luas pula wawasannya dan maju pola pikirnya dan saya yakin ini sangat membantu saya dalam menata masa depan. Gelar bagi saya bukan segala-galanya, justru wawasan dan pola pikir itu yang saya anggap lebih penting daripada selembar ijazah," ucap bangga Bang Kiming.
(bpn/jor)