Uji kepatutan dan kelayakan digelar di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/7/2015). Dia menjelaskan soal pengalamannya memvonis mati terdakwa kasus pembunuhan.
Pria yang rencananya hendak mengisi kamar pidana Mahkamah Agung (MA) ini juga berbicara soal extra-ordinary crime yang di dalamnya juga termasuk kasus korupsi. Dikonfirmasi usai uji kepatutan dan kelayakan selesai, hakim Pengadilan Tinggi Surabaya ini menjelaskan terlebih dahulu soal pengalamannya memvonis mati terdakwa pembunuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas bagaimana dengan pendapatnya soal hukuman mati bagi terpidana korupsi? Dia menjelaskan hukuman mati memang menjadi perdebatan antara sisi Hak Asasi Manusia dengan sisi perbuatan yang betul-betul mencemaskan masyarakat. Namun korupsi memang disepakati masuk kejahatan luar biasa.
"Kalau itu memang disepakati oleh masyarakat Indonesia seperti itu (korupsi adalah extra-ordinary crime), apa salahnya (dihukum mati) gitu lho," kata Suhardjono.
Lagipula, lanjutnya, hukuman mati bagi koruptor memang dimungkinkan seturut Perundang-undangan. Penerapan hukuman mati bagi koruptor bukan hanya menimbulkan 'terapi kejut' bagi masyarakat, melainkan secara formal memang harus dilaksanakan bila peradilan mengamanatkan demikian.
"Kalau semua sudah kumulatif, tidak ada alasan yang meringankan dia, ya sudah (vonis mati bagi koruptor). Artinya bukan shock terapy, tapi karena memang hukumnya begitu dengan perbuatan yang dianggap menimbulkan dampak begitu luas, ya apa boleh buat bila tidak ada alasan-alasan yang meringankan," tuturnya.
Dia menyatakan bakal menegakkan aturan itu bila nanti terpilih menjadi hakim agung. "Insya Allah. Semua itu berkaitan dengan seberapa luas perbuatan itu," tandasnya. (dnu/dhn)