Eduard dibesarkan dalam keluarga non-muslim yang taat. Masa kecil Eduard yang dihabiskan di Plaju, Palembang, tak banyak bersinggungan dengan Islam hingga akhirnya di masa remaja dia duduk-duduk di depan rumah dan mendengar takbir malam Lebaran.
"Itu tahun 1970-an, waktu SMA usia saya 17 tahun. Saya dengar takbirnya begitu kok enak," kenang Eduard saat berbincang dengan detikcom di Kampung Kemang, Jl Kemang Raya, Jakarta Selatan, Senin (22/6/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bilang 'Kitab ini suci, saya tak pantas memegangnya'. Begitu saja persentuhan saya dengan Islam pada masa remaja dan di kampus. Tak ada yang istimewa," kenang Eduard.
Hingga pada tahun 1983, Eduard memutuskan menjadi mualaf karena menikah dengan sang pujaan hati, Erlis Irianti (52). Masuk Islam karena menikah, diakui Eduard, tidak ada rohnya.
Namun demikian Eduard adalah seseorang yang total bila sudah memutuskan untuk berkomitmen, termasuk memilih keyakinan. Dari 1983 sejak menjadi mualaf, Eduard rajin beribadah ke masjid. Dia bahkan sempat menjadi ketua pengajian di masjid lingkungan rumahnya.
Hingga di suatu hari di tahun 2000 selepas salat Asar, begitu saja tercetus di dalam hati untuk kembali kepada keyakinannya yang lama.
"Yang pertama (jadi mualaf) itu karena menikah, bukan karena hati, jadi tidak awet," aku Eduard.
Keputusannya ini membuat anak sulungnya, Erick Michael (30) menangis. Erick merasa kehilangan imam yang memimpin keluarga saat itu.
"Ya bagaimana, Papa yang dulu mengajari saya salat, menyuruh saya salat," kenang Erick yang mendampingi Eduard.
Lalu bagaimana reaksi istrinya? Eduard mengatakan, "Istri saya cuma menangis, tapi tidak pernah ribut. Tetap mendidik anak secara Islami.. ".
Erick Michael (Foto: Nograhany Widhi K) |
"Mama yang merangkul, memberi penjelasan pada kami, Mama jadi penyangga kami," timpal Erick.
Namun, hidup haruslah berjalan. Eduard membebaskan putra-putrinya untuk memilih keyakinan. Semuanya saat itu memilih bertahan pada keyakinan sang istri.
"Anak-anak saya bebaskan, terserah mau memilih yang mana, saya tidak memaksa. Istri saya tetap tabah. Memang benar, laki-laki itu perilakunya tergantung istri," ucapnya.
Meski berbeda keyakinan, Eduard tetaplah menyuruh anak-anaknya salat dan mengaji. Mereka merayakan hari raya agamanya masing-masing.
"Saat Lebaran, ada yang hilang. Biasanya ramai-ramai, Mama, Papa dan anak-anaknya salat Ied bareng, bersilaturahmi ke mana bareng, saat itu tidak. Papa juga merasa kehilangan suasananya. Sama-sama merasa kehilangan," kenang Erick.
Dalam keyakinan yang dipeluknya dari kecil itu, Eduard juga beribadah dengan taat dan total. Hingga di suatu hari, anak kedua Eduard, Edith (27) menikah pada Maret 2012. Pernikahan dilakukan secara Islam. Pernikahan pertama dalam keluarga intinya. Karena Eduard berbeda keyakinan dengan sang putri, maka saat itu dia tak bisa menjadi wali nikahnya.
"Saat itu saya sebagai ayah tidak bisa menjadi wali untuk menikahkannya, itu.. saya sedih..," tutur Eduard.
Di saat yang sama, ada pula masalah berat yang tidak bisa ditemukan jawabannya. Dalam cobaan masalah berat itu, akal yang bekerja dan hati yang bicara, akhirnya menuntun Eduard untuk mengucapkan kalimat syahadat kembali pada tahun 2012 lalu.
"Ada masalah berat yang tidak saya temukan jawabannya, dan jawabannya saya temukan dalam Islam," tuturnya sambil tersenyum. Β
"Ternyata Islam itu sangat komplet, sangat luar biasa. Insyaallah I am a moslem until I die," tutur ayah dari 4 orang anak dan 1 cucu ini mantap.
Halaman 2 dari 1












































Erick Michael (Foto: Nograhany Widhi K)