Aspek sosial itulah yang mendatangkan kerinduan kepada Tanah Air pada diri mereka yang merantau ke luar negeri. Suasana Ramadan di Indonesia yang begitu khas, lengkap dengan segala pernak-perniknya, menghadirkan nuansa spesial yang tak bisa didapatkan di negara lain.
"Ramadan di Indonesia terasa lebih istimewa karena ada unsur perayaannya. Selama sebulan kita melakukan hal-hal yang tidak biasa kita lakukan, menyaksikan hal-hal yang tidak biasa kita saksikan," tutur Anggarini Sesotyoningtyas, diplomat muda yang sedang menjalani penugasan di KBRI Washington DC, Amerika Serikat, Senin (22/6/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Buka bersama bukan sekedar untuk membatalkan puasa, tapi menjadi piranti untuk menjalin kembali ikatan dengan keluarga dan dengan teman-teman yang jarang berjumpa," tutur Ririn.
Hal tak biasa yang lain, di bulan puasa banyak dijumpai orang menjual makanan dan minuman yang tak banyak ditemukan di hari-hari biasa, seperti timun suri atau sup buah. Keluarga pun acap kali memasak menu masakan tertentu yang khas selama bulan Ramadan.
"Menurut saya hal-hal yang kadang terkesan sederhana itulah yang menjadikan Ramadan di Indonesia terasa spesial dan berbeda dengan bulan-bulan yang lain. Di sini kita tidak hanya bicara tentang Ramadan dalam konteks relasi manusia dan Tuhan, tetapi juga perannya dalam kehidupan sosial yang lebih besar," imbuh Ririn.
Tentu saja ada juga unsur budaya yang lebih dalam maknanya di sana. Tradisi nyadran di kampung-kampung di Jawa, misalnya, menjadi semacam penghubung antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Orang diajak untuk mengingat arwah para leluhur, mendoakan mereka yang sudah lebih dulu memasuki alam baka.
"Di sana terpampang dengan jelas perpaduan antara agama dan budaya. Itu mengingatkan kita tentang bagaimana Islam disebarkan di Nusantara, yaitu melalui asimilasi dengan budaya setempat yang dilakukan secara bertahap,β kata perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, ini.
Di atas semua itu, yang membuat Ramadan terasa menggembirakan meski orang didera rasa haus dan lapar adalah penantian akan datangnya Lebaran. Ritual selama sebulan penuh akan berpuncak pada lebaran tanggal 1 Syawal, saat di mana orang libur kerja untuk mudik dan berkumpul bersama keluarga besar.
"Menantikan datangnya Lebaran memberikan kebahagiaan tersendiri, membuat segala hal yang kita lakukan selama Ramadan terasa lebih emosional. Ada kegembiraan yang terasa meluap-luap di sana. Tanpa penantian terhadap Lebaran, barangkali Ramadan tidak akan semenyenangkan itu. Perasaan itulah yang saya alami selama berpuasa di Amerika, karena saya tahu saat Lebaran nanti saya tidak bisa berkumpul bersama keluarga besar saya," kata Ririn yang telah dua kali melewati Ramadan di Amerika ini.
Bagi Anda pembaca detikcom yang memiliki pengalaman berpuasa Ramadan di luar negeri seperti yang dituliskan di atas, bisa menuliskan dan mengirimkannya ke: redaksi@detik.com. Sertakan identitas lengkap, nomor kontak yang bisa dihubungi dan foto yang mendukung kisah Anda. (nwk/kha)