Adalah Christ Daniel Soselisa (17), pemuda asal Ambon yang ikut mengabarkan ke negara lain bahwa toleransi di Indonesia sangat tinggi. Dia berusaha meyakinkan teman-temannya saat ikut pertukaran pelajar ke Arkansas, Amerika Serikat.
"Saya ditempatkan di suatu daerah di Amerika di State of Arkansas dan saya ditempatkan itu bukan di suatu daerah kota, kayak kebanyakkan film di Hollywood. Sekolah saya ini sebelumnya belum pernah mendapatkan siswa pertukaran pelajar. Kemudian saat ini kan ada banyak berita seperti ISIS, Al-Qaedah, Boko Haram, dan saya sebagai penduduk yang mayoritas negara muslim berusaha menjelaskan kepada mereka, Islam dan terorisme itu adalah 2 hal yang cukup berbeda. Itu yang menjadi hambatan," tutur Christ saat berbagi cerita kepada detikcom di kediaman Dubes AS, Jl Taman Suropati, Jakarta Pusat, Jumat malam (19/6/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pas saya jelaskan itu mereka gak percaya. Karena mereka dikontrol oleh media-media Amerika Serikat yang begitu kuat. Memiliki pengaruh kuat. Tetapi hari demi hari saya tunjukkan dengan sikap saya sendiri, teladan saya sendiri. Saya bukan muslim tapi saya Kristen namun saya di negara yang mayoritasnya muslim dan saya senang. Saya senang tinggal di negara muslim yang begitu toleran dan respek terhadap perbedaan. Dan mereka percaya itu," tutur Christ sambil tersenyum.
Mata Christ kemudian tampak sedikit berkaca-kaca menahan haru ketika ingat bahwa kota asalnya di Ambon, Maluku juga pernah mengalami konflik. Tetapi akhirnya dapat bersatu dan salah satu simbol persatuannya adalah sekolah yang dia duduki.
"Jadi kalau pernah tahu, dulu ada konflik cukup besar di Ambon antara 2 agama besar. Sekolah saya ini didirikan untuk rekonsiliasi 2 agama ini. Dan dalam bentuk asrama. Awalnya berat, saya enggak terbiasa dengan orang-orangnya dan keyakinannya. Tapi dari situ saya belajar bahwa perbedaan ternyata itu indah banget. Dan sejak itu kami mencoba selalu optimis," ungkap Christ.
Buah dari kegigihannya menceritakan toleransi di Indonesia, Christ pun terpilih untuk menghadiri acara Civilizations Exchange and Cooperation Foundationβs Better Understanding for Better World Conference di Baltimore, Maryland. Di ajang itu dia berhadapan dengan siswa-siswa berbakat lain dari berbagai negara.
Christ mengaku sedikit tegang pada awalnya. Tetapi perasaan itu tak berlangsung lama ketika dia sudah mulai berinteraksi dengan peserta lainnya dan saling bertukar pengalaman.
"Saya sempat tegang juga pas ikut ini. Karenakan pesertanya, mereka dari negara-negara kayak Jerman, Turki, yang memang jago-jago, super power country. Ada Amerika juga, sempat tegang, gugup, dan sebagainya. Tapi ketika sudah interaksi, sudah bicara, saya sudah mulai tenang. Dan bisa share same ide itu karena saya percaya bahwa anak-anak muda yang saya temui di konferensi itu akan berbagi masa depan yang sama. Tema yang saya diskusikan itu adalah konflik-konflik agama yang ada di dunia ini. (Bahwa) itu bukan disebabkan oleh ajaran-ajaran agama itu sendiri," kata dia.
Adalah salah bila orang menilai suatu agama mengajarkan kekerasan. Konflik antar umat beragama justru timbul akibat kepentingan individu yang mengatasnamakan agama.
Hasil dari konferensi itu kemudian menyimpulkan bahwa konflik bukan karena sebuah filosofi atau sistem keyakinan, melainkan disebabkan oleh manusia-manusia yang memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi mereka sendiri. Anak tunggal dari seorang dosen di Universitas Pattimura ini pun berpesan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang lain.
"Buat anak-anak Indonesia, jadilah diri sendiri. Karena dari situlah orang-orang bisa menilai kita. Kalau kita tidak menjadi diri kita sendiri, orang akan menilai hal itu palsu dan mereka akan men-judge kita," pungkas pemuda yang hobi main piano dan menyukai musik jazz ini.
Halaman 2 dari 2