"Peristiwa penusukan di Pengadilan Agama Batam dan peristiwa-peristiwa sebelumnya di tempat lain tidaklah bisa dianggap tindak kriminal biasa," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (16/6/2015).
Menurut Bayu, kejahatan itu adalah tindakan penghinaan terhadap lembaga peradilan dan merupakan catatan kelam serta memalukan atas eksistensi pengadilan Indonesia dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan dapat mengurangi kewibawaan pengadilan yang saat ini juga tengah menghadapi masalah terkait perilaku oknum hakim yang melanggara kode etik dan pedoman perilaku maupun putusan-putusan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengurangi hal itu maka diperlukan beberapa alternatif. Pertama membuat regulasi pengamanan pengadilan. Saat ini masih mendasarkan kepada Peraturan Menteri Kehakiman tertanggal 16 Desember 1983. Padahal sesuai UU kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung disebutkan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan MA.
"Dengan demikian seharusnya mengenai tata tertib persidangan adalah domain MA melalui Peraturan MA," ujar Bayu.
Kedua, tata tertib persidangan yang diatur dalam peraturan Menteri Kehakiman masih menunjukkan kelemahan yaitu larangan membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang hanya diberlakukaan dalam ruang sidang. Padahal seharusnya larangan membawa benda-benda berbahaya tersebut diberlakukan sejak para pihak maupun pengunjung memasuki area pengadilan.
"Terbukti kejadian di Batam, pelaku bisa bebas membawa senjata tajam di area pengadilan di luar ruang sidang," ujar Bayu yang baru pulang dari Jerman usai mengikuti pelatihan singkat tentang konstitusi.
Ketiga, aturan tata tertib persidangan dalam peraturan Menteri Kehakiman masih menekankan konsentrasi petugas keamanan pengadilan mengamankan ruang sidang dan bukan pengadilan secara keseluruhan. Terbukti dalam peraturan Menteri Kehakiman disebutkan:
Tanpa surat perintah petugas keamanan Pengadilan karena tugas dan jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seseorang diruang persidangan tidak membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan jalannya persidangan.
"Padahal seharusnya penggeledahan oleh petugas keamanan dilakukan sejak kehadiran seseorang di area pengadilan. Terbukti kasus PA Batam karena tiadanya penggeledahan ini," ujar Bayu.
Sebagai perbandingan, di Jerman, pengamanan pengadilan dikelola secara internal oleh pengadilan. Di mana petugas keamanan bertugas penuh untuk memastikan para pihak maupun pengunjung tidak membawa benda-benda yang dapat membahayakan hakim, para pihak, maupun pengunjung.
"Yaitu dengan cara memeriksa secara detail tiap-tiap orang yang memasuki gedung pengadilan, bahkan metal detector terpasang di pintu masuk pengadilan," pungkasnya.
Pengadilan menjadi ajang pertumpahan darah bukan hal baru di Indonesia. Tetapi kejadian itu selalu terulang. Pada 2001, hakim agung Syafrudin Kartasasmita diberondong peluru saat hendak menuju kantornya. Pada 21 September 2005 Kolonel (Laut) M Irfan membunuh majelis hakim yang mengadilinya dan istrinya di PA Sidoarjo. Pada Oktober 2008 pembunuhan juga terjadi di ruang sidang PN Jakpus dengan korban Stanley Mutuah.
Tiga tahun setelahnya, Pengadilan Negeri (PN) Temanggung juga diamuk massa dalam sidang penistaan agama. Kerusuhan meluas ke tempat ibadah dan fasilitas umum di sekitar gedung pengadilan. Pada 2011, MA menjadi ajang kericuhan oleh advokat yang mendemo gedung itu. Dan pasa 2013, sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) juga amuk massa dalam sidang pilkada. Di tahun yan sama, PN Depok juga diobrak-abrik ormas. Pelaku hanya dihukum 5 bulan penjara. (asp/nrl)











































