Proses pengadopsian Angeline oleh Margriet dan mendiang suaminya menjadi tanda tanya karena tanpa proses di pengadilan, hanya melalui notaris. Sekjen KPAI Erlinda menyatakan kasus Angeline adalah trigger untuk menguak proses adopsi yang tidak sesuai regulasi dan aturan.
"Kasus Angeline ini trigger, adopsi Angeline jadi trigger. Kami tidak ingin keluarga angkat yang bertanggungjawab, tapi Polda Bali, untuk ungkap satu per satu. Di Indonesia, adopsi sudah punya hukum legal," kata Erlinda dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/6/2015).
Menurut Erlinda, perlindungan anak yang mulai termarjinalkan berarti bencana nasional. Sehingga perubahan Pasal 39 UU Perlindungan Anak perlu diperketat demi hak-hak si anak agar proses adopsi anak di Indonesia bisa lebih baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angeline merupakan anak angkat Margriet Mendawa yang bersuamikan orang kulit putih yang sudah meninggal 3 tahun lalu. Angeline diadopsi dari ibu kandungnya saat usia dia berumur 3 hari. Saat itu orang tua kandung Angeline tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Adopsi dilakukan tanpa sidang di pangadilan, hanya notaris dengan sejumlah perjanjian, di antaranya orang tua kandung tidak boleh menemui Angeline hingga usianya 18 tahun.
Kasus Angeline berawal saat bocah cantik itu hilang pada 16 Mei 2015. Poster-poster hilangnya Angeline disebar oleh kakak angkatnya. Kakak angkatnya juga mengelola fanpage di Facebook "Find Angeline-Bali's Missing Child". Namun tak dinyana Angeline ternyata ditemukan di area rumahnya sendiri pada Rabu (10/6/2015). Pelaku pembunuhnya adalah mantan pembantu Margriet, Agus.
(vid/slh)