Hal ini menjadi salah satu persoalan seleksi hakim yang berpotensi KKN. Namun, bukan berarti hubungan darah mengharamkan anak menjadi hakim.
"Kebetulan anak saya hakim di PN Cibinong," kata hakim agung Gayus Lumbuun.
Hal ini disampaikan dalam diskusi 'Ngobrol Perihal Konstitusi: Mendorong Penguatan Sistem Perekrutan Hakim yang Berkualitas dan Berintegritas' yang digelar Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) di Aula Universitas Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (3/6/2015).
Guru besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) ini mengakui bahwa anaknya, Dr Ronald Lumbuun, juga seorang hakim. Tapi ia memberi catatan bahwa anaknya menjadi hakim jauh sebelum dirinya menjadi hakim agung.
"Dia doktor lulusan termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). S1 UI, S2 juga UI," kata Gayus.
Menurut Gayus, rekrutmen hakim tidak mempermasalahkan silsilah keturunan. Tetapi mempersoalkan kredibilitas, kemampuan dan integritas sehingga hakim yang diharapkan bisa memberikan keadilan bagi masyarakat.
"Anak saya punya prestasi yang baik. Pernah waktu itu dia memutus soal kasus ganti kelamin, anak belum dewasa, minta perempuan jadi lelaki. Biasanya hakim-hakim tidak menerima permohonan semacam ini. Anak saya memutus dengan tegas bahwa dia (pemohon) akhirnya sah sebagai laki-laki," cerita Gayus.
Lalu Gayus bertanya ke anaknya mengapa berani memutus hal di atas. Ronald menjawab bahwa dia memanggil ahli dari MUI, ahli kedokteran dan anatomi. Keterangan dari para saksi ahli itu yang memberikan gambaran mengapa Ronald akhirnya memutuskan ganti kelamin itu.
"Dia terlebih dulu jadi hakim dari saya," ujar Gayus yang menjadi hakim agung pada 2011, sedangkan anaknya sudah menjadi hakim agung sejak awal tahun 2000.
Persoalan Lumbuun senior dan Lumbuun junior sama-sama jadi hakim dipahami oleh dosen Al Azhar, Fokky Fuad. Kredibilitas dan kemampuan Ronald sebagai hakim dinilai layak dan tidak perlu dipersoalkan keterkaitannya dengan ayahnya.
"Kebetulan anak beliau (Gayus) itu teman sekelas saya. Ronald Lumbuun namanya. Dia memang kalau menulis, cepat. Apel tidak jauh dari pohonnya. Karena seseorang setiap hari berinteraksi dengan ayahnya. Anak Pak Habibie saja (menggeluti) teknologi semua," kata Fokky.
Untuk menutup celah permainan KKN ini, maka diperlukan Komisi Yudisial (KY) untuk terlibat menyeleksi hakim secara transparan dan akuntabel. Sejak tahun 2003, seleksi hakim dilakukan mandiri oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga menimbulkan tanda tanya.
"Makanya diperlukan KY agar tidak ada KKN itu. Untuk menutup celah. Di situlah perlunya peran KY. Perekrutan hakim di tingkat pengadilan negeri, karena mereka (hakim PN) yang langsung berinteraksi dengan masyarakat," ucap Fokky.
Kekhawatiran KKN dalam seleksi calon hakim yang dilakukan mandiri oleh MA bukannya tanpa alasan. Sebab berdasarkan catatan Komisi Hukum Nasional (KHN), sedikitnya seleksi MA memiliki kekurangan, beberapa di antaranya:
1. Panitia menyerahkan jawaban pada peserta.
2. Panitia menjanjikan kelulusan dengan bayar sejumlah uang.
3. Birokrasi/sistem membuka peluang untuk KKN.
4. Tidak memenuhi syarat fisik dan IP tapi tetap lolos (salah satunya adalah anak Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi).
7. Panitia minta uang lembur pada peserta yang lulus.
8. Saal ujian tulis, panitia hanya ngobrol di depan.
9. Yang lulus anak pejabat/hakim/titipan, kredibilitas diragukan.
10. KKN semakin transparan.
Alih-alih mendukung upaya transparansi dalam menyeleksi hakim, sebagian hakim agung malah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) meminta KY tidak dilibatkan dalam menyeleksi hakim. Alhasil, seleksi hakim terbengkalai dan krisis hakim melanda berbagai pengadilan. Seperti di Pengadilan Negeri (PN) Painan, Sumatera Barat, yang hanya diisi 3 hakim.
(Andi Saputra/Nurul Hidayati)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini