Suara pintu rumah yang digedor pada malam hari yang menggema 50 tahun lalu masih terngiang di ingatan Sri Murtini (61). Kala itu ayah angkatnya, Joesoef Setijo Widagdo dijemput sejumlah pria dan di luar rumah sudah menunggu sekelompok pria lainnya.
"Saya saat itu masih SD. Ketika Bapak dijemput saya masih tidur bareng bapak dan ibu. Semuanya terbangun waktu itu," kata Sri kepada detikcom di lokasi pemakaman massal korban tragedi 1965 di hutan Dusun Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Senin (1/6/2015).
Sri tidak mengerti kenapa ayahnya dijemput, yang ia tahu ayahnya bekerja sebagai carik di tempat tinggal mereka yaitu Margorejo, Cepiring, Kabupaten Kendal dan dikenal baik oleh tetangga. Dan sejak saat itu ia tidak pernah lagi melihat sosok sang ayah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia dan keluarga sudah berusaha mencari dan sempat mendengar kabar ayahnya dihajar di suatu tempat. Sri juga diberitahu seseorang lokasi Joesoef di Cepiring, namun ternyata tidak ada yang boleh mengakses lokasi yang diberitahukan itu.
"Lima hari setelahnya (setelah dijemput) saya ke pasar ada yang bilang bapak dihajar," ujarnya.
Kini 50 tahun sudah berlalu, Sri dan keluarga sudah ikhlas jika ayahnya sudah meninggal di suatu tempat. Namun beberapa hari lalu ia mendapatkan kabar ada nama Joesoef di salah satu identitas 24 korban tragedi 1965 yang ada di kuburan massal di kawasan Perhutani KPH Kendal itu.
"Saya terimakasih sekali sama orang-orang yang mengurus ini, saya tidak tahu dimana jenazah bapak. Terimakasih masih ada yang peduli. Dari dulu tidak tahu, sudah 50 tahun," ujar Sri tersedu.
Dalam tragedi 1965, ribuan orang yang dianggap berhubungan dengan PKI dibantai akibat buntut dari peristiwa G 30SPKI yang menewaskan 7 perwira tinggi TNI.
Meski G 30SPKI terjadi di Ibu Kota, namun pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto berimbas ke daerah-daerah termasuk Jawa Tengah. Di kuburan massal yang berada di daerah Mangkang Semarang tersebut, mayoritas korban adalah warga Kabupaten Kendal.
Selain ayah angkat Sri ada beberapa orang yang terindetifikasi namanya berdasarkan keterangan saksi mata ketika pembantaian terjadi. Mereka adalah Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Soekandar, Doelkamdi, dan Soerono.
Mukhron, keponakan dari salah satu korban yaitu Sachroni cukup terkejut dengan diketahui lokasi makam pamannya itu. Sachroni memang dijemput ketika pemberantasan PKI dilakukan akhir tahun 1965 dan setelah itu tidak pernah terdengar lagi kabarnya.
"Dulu itu saya dapat kabar pak Sachroni ditangkap. Dia kerjanya petani biasa tapi memang aktif di partai," ujar Mukhroni.
Dalam tragedi 1965 memang banyak yang menjadi korban dan tidak diketahui rimbanya. Sedangkan kuburan massal yang berada di Plumbon tersebut hanya dijadikan tempat mencari wangsit dan bahan obrolan publik.
Kemudian Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM), pemerhati sejarah, mahasiswa, Pemkot Semarang dan Pehutani selaku pemilik lahan bekerjasama hingga akhirnya pada hari Senin kemarin bertepatan dengan Hari Kelahiran Pancasila dilakukan prosesi pemakaman yang lebih layak dengan tabur bunga.
"Dulu warga tidak pernah terpikirkan untuk penisanan dan pemakaman ulang. Setelah ketemu kita baru terpikirkan itu. Ini dulu jadi pembicaraan publik, ada yang untuk cari nomor (togel) terus untuk diskusi kampus, tapi kok cuma diskusi doang, harus ada sesuatu yang dilakukan," kata Koordinator PMS-HAM, Yunantyo Adi.
Prosesi tersebut dihadiri pihak keluarga dari korban yang sudah teridentifikasi namanya, kemudian tokoh agama, seniman, pihak Pemkot Semarang, Perhutani, mahasiswa, dan warga. Pemasangan nisan juga dilakukan dan diletakkan di antara dua liang lahat yang berada di bawah pohon jarak.