"Islah memang langkah baik, tapi secara teknis sangat susah diimplementasikan. Itulah mengapa tujuannya jangka pendek kedua kubu masih melanjutkan sengketa di pengadilan," ujar pengamat dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes saat berbincang, Minggu (31/5/2015).
Arya menyebut setidaknya ada empat tantangan yang menyebabkan persoalan teknis ini sangat merepotkan. Pertama, merumuskan formula penentuan calon kepala daerah yang adil dan proporsional.
"Formula itu terdiri dari syarat pencalonan dan mekanisme penjaringan kandidat kepala daerah. Syarat pencalonan di internal harus memberikan kesempatan pada kedua kubu untuk dapat mencalonkan diri, jangan sampai ada klausul yang berpotensi menguntungkan salah satu kubu," tuturnya.
Kedua, lanjut Arya, merumuskan format koalisi di pilkada. Perbedaan agenda politik kedua kubu juga akan mempengaruhi format koalisi.
"Golkar pasca islah harus mengidentifikasi kekuatan partai di semua kepala daerah dan membuat skenario koalisi antar partai," imbuhnya.
Tantangan ketiga, adalah afiliasi politik kandidat yang menang dalam pilkada. Bagaimanapun kedua kandidat berkepentingan agar kandidat terpilih menjadi bagian dari kepengusan partai. Posisi kandidat setelah menang dalam pilkada akan diperebutkan kedua kandidat.
"Bisa saja terjadi migrasi elit besar-besaran," kata Arya.
Tantangan keempat, dukungan politik dan dana dalam pilkada. "Kedua kubu tentu tidak akan all out membantu kandidat yang tidak memiliki afialiasi politik dengan kubu mereka," tutupnya.
(Mega Putra Ratya/Septiana Ledysia)











































