Pria yang akrab disapa Emil ini mengambil Program Master of Urban Design di College of Environmental Design, University of California, Berkeley. Ia menyayangkan orang-orang Indonesia dengan mudah mempercayai untuk kuliah di kampus abal-abal dan seolah-olah mendapat gelar dan ijazah dari kampus ternama.
Ada pula kisah Peter Yan, sopir taksi Eagle, Express Group ini, ternyata lulusan Jerman dan sesekali mengajar S2 sebagai dosen tamu di salah satu universitas swasta di Jakarta. Peter bekerja sebagai sopir taksi untuk mendapatkan tambahan penghasilan dan melakukan riset tentang kemacetan di Jakarta.
Selain itu, ada kisah Kadiyono. Pria berusia 46 tahun itu penambal ban di Kendal ini ternyata lulusan program pascasarjana. Kadiyono juga pernah menjadi tutor di Universitas Terbuka Mangkang dan mengajar Pendidikan Agama Islam di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang. Kegiatan mengajar yang dilakoni hingga saat ini adalah di SMA PGRI.
Kisah Darwati seorang pekerja rumah tangga yang sukses meraih gelar sarjana jurusan Administrasi Niaga Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang dengan predikat cum laude juga memberi inspirasi. Terakhir, ada ibu dan anak yang meraih gelar doktor dan diwisuda bersamaan.
Berikut 5 kisah inspiratif itu:
1. Ridwan Kamil
|
Sebagai lulusan S2 di University of California, Berkeley, Emil punya pendapat tersendiri soal kasus jual beli ijazah di Indonesia. Apalagi, kini muncul nama sebuah kampus bernama University of Berkley Michigan yang dikaitkan dengan kasus tersebut.
"Universitas sekelas itu (Berkeley) tidak akan pernah bekerjasama seperti itu. Sudah pasti tidak mungkin. Kalau kerjasama, pasti dengan universitas negeri. Biasanya dual degree istilahnya. Jadi setengah sekolah di sini, setengahnya sekolah di sana. Nggak mungkin buka cabang, pasti abal-abal," ujar pria yang akrab disama Emil itu kepada detikcom melalui telepon, Sabtu (24/5/2015).
Wali Kota yang hobi bersepeda itu pun menyayangkan mengapa orang-orang Indonesia dengan mudah mempercayai untuk kuliah di kampus abal-abal dan seolah-olah mendapat gelar dan ijazah dari kampus ternama.
"Bisnis mengelabui seperti itu memang pasarannya juga ada. Pasarnya orang-orang yang potong kompas yang tidak mau kerja keras. Orang yang tidak mau belajar, yang membohongi diri sendiri. Dan jumlah kelompok masyarakat yang gila gelar itu banyak sekali," ungkapnya.
Dari kasus-kasus kampus bodong dan ijazah palsu yang marak di Indonesia, Emil berharap masyarakat khususnya pemerintah jangan 'gila gelar'. Sehingga dampaknya muncul kasus-kasus seperti ini yang menurutnya mencoreng dunia pendidikan.
"Intinya mah harus jadi pelajaran, jangan pernah percaya terhadap tawaran gelar-gelar semacam itu. Mari fokus membangun peradaban dengan kinerja, bukan dengan gelar. Kalau mau dapat gelar ya sekolah di kampus yang benar," tegasnya.
2. Peter Yan
|
Di tengah maraknya isu jual beli ijazah palsu untuk mengejar jabatan, Peter punya kisah yang tidak mudah untuk mendapatkan gelar Dipl.Ing. di Jerman. Ijazah tersebut tak semata-mata digunakan untuk mencari kerja atau mengejar posisi tinggi, namun ilmunya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Profesi utamanya sebagai sopir taksi, namun kerja sampingannya sebagai dosen.
"Saya memang kuliah di Technische Hochschule Darmstadt, Jerman, bidang civil engineering. Lulus tahun 1977," ujar Peter yang masih mengenakan seragam kerjanya warna biru di kantor Express Group, Jl Sukarjo Wiryopranoto nomor 11, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat (22/5/2015).
Peter mengaku menyelesaikan kuliahnya di Jerman selama 10 tahun yaitu sejak tahun 1977-1987. Sebab kala itu ia kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Pria asal Kupang, Nusa Tenggara Timur ini mengaku pernah melakoni berbagai macam pekerjaan. Mulai dari menjual koran hingga menjadi asisten dosen di Jerman pernah dijalaninya. Di sana ia juga sempat berkeluarga. Peter menikah dengan seorang WNI yang juga kuliah di Jerman dan melahirkan putri mereka di sana. Pria bergelar Dipl-Ing ini kemudian kembali ke Indonesia setahun setelah lulus kuliah, yaitu tahun 1988.
Di Indonesia, Peter mempraktikkan ilmu yang didapatnya di Jerman dengan membuat berbagai desain tata kota. Tak sedikit karya Peter yang menurutnya dijadikan referensi oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia.
Kini Peter menjadi sopir taksi. Tujuannya selain mendapatkan tambahan penghasilan, Peter juga melakukan riset tentang kemacetan di Jakarta.
"Kalau kita mengenali, kita baru menguasai. Saya sekarang bisa jawab kalau ditanya kapan, di mana dan apa penyebab kemacetan di suatu titik di Jakarta. Saya harap problem transportasi ini diselesaikan secara menyeluruh," kata suami dari Herunawati ini.
3. Kadiyono
|
Bertempat tinggal di Jalan Pemuda 56 B, Dusun Jagalan RT 1 RW 1, Desa Boja, Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah, Kadiyono hidup bersama istri, satu putra, dan dua putrinya. Ia membuka lapak tambal ban di depan gang masuk rumahnya dengan peralatan sederhana dan kompresor tua.
Hasil membantu menambal ban digunakan Kadiyono untuk biaya sekolah hingga kuliah. Ia lulus SMA tahun 1989 dan melanjutkan kursus montir. Saat itu ia masih terbayang-bayang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari hasil tambal ban, Kadiyono bisa masuk program sarjana Strata 1 di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK) Semarang jurusan Penerangan pada tahun 1990. Perjuangan Kadiyono di bangku kuliah tidak mudah, ia harus menempuh jarak lebih dari 80 km pergi pulang.
Tahun 1994, ada perubahan kurikulum pendidikan dan membuat Kadiyono kesulitan. Keinginannya meraih gelar S-1 meredup. Ia memilih vakum dan bekerja di proyek namun tetap menambal ban hingga akhirnya menikahi Mutmainah tahun 1998. Tahun 2000, kampusnya melayangkan surat menanyakan apakah akan melanjutkan pendidikannya atau tidak. Tentu saja hal itu tidak disia-siakan.
Kadiyono lulus tahun 2001. Ia mendapat tawaran menjadi guru di SD Muhammadiyah Boja yang kala itu baru berdiri. Enam bulan kemudian ia didapuk menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut. Namun tetap saja Kadiyono tidak meninggalkan usaha tambal bannya.
Tahun 2008, Kadiyono mendapat tunjangan sertifikasi guru. Dua tahun kemudian, dengan seizin keluarga, ia melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi di Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) di jurusan Manajemen Pendidikan.
Demi meraih gelar S2-nya, Kadiyono terpaksa melepas pekerjaannya di SD Muhammadiyah karena pihak yayasan memintanya bekerja dari Senin hingga Sabtu. Selama 14 bulan menempuh pendidikan di UMS, akhirnya Kadiyono lulus. Kemudian, ia mengajar di berbagai sekolah, termasuk SLB Surya di Limbangan, Boja. Dari gaji mengajar dan usaha tambal ban, ia menafkahi keluarga dan membiayai kuliah.
Kadiyono juga pernah menjadi tutor di Universitas Terbuka Mangkang dan mengajar Pendidikan Agama Islam di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang. Kegiatan mengajar yang dilakoni hingga saat ini adalah di SMA PGRI.
4. Darwati
|
Sehari-hari, Darwati menjadi PRT di rumah seorang dokter di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ia memanfaatkan waktu dan gaji agar bisa meraih gelar sarjana di jurusan Administrasi Niaga Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang.
Hari ini, Kamis (21/5/2015), Darwati diwisuda. Ia lulus dengan IPK 3,68. Prestasi yang luar biasa bagi pasangan suami istri Sumijan dan Jasmi yang bekerja sebagai petani di desanya.
"Memang sudah sejak lulus SMA ingin kuliah, tapi terhalang biaya, terus saya cari-cari kerja dulu," kata Darwati saat berbincang dengan detikcom di sela acara wisudanya di aula Masjid Agung Jawa Tengah.
Ia pun mulai menceritakan kisah keinginannya berkuliah hingga akhirnya lulus dengan predikat cum laude. Darwati awalnya impiannya kuliah hanya angan-angan, sehingga selepas lulus dari SMA Muhammadiyah 5 Todanan ia ke Jakarta untuk bekerja.
Kembali ke kampung halaman, Darwati berjualan es campur kira-kira selama tiga minggu. Namun selama itu ia belum menerima upah karena pindah bekerja sebagai PRT di rumah drg Lely Atasti Bachrudin.
"Kerja jual es campur itu tiga minggu belum digaji karena pemiliknya ingin aku tetap kerja di sana. Orangnya baik, tapi saya pindah kerja ke dokter Lely," katanya.
Darwati ingat betul ia mulai menjadi PRT sejak tanggal 16 Agustus 2010 silam. Kini Darwati sudah membanggakan kedua orang tuanya dengan lulus dan termasuk mahasiswa bernilai terbaik di kampusnya. Ayah Darwati, Sumijan tidak menyangka putri keduanya bisa meraih gelar sarjana.
5. Ibu dan Anak Jadi Doktor
|
Mereka ikut di wisuda bersama dengan 1.478 lulusan master dan doktor di gedung Graha Sabha Pramana (GSP) UGM, Kamis (23/4/2015). Ini merupakan peristiwa diwisuda yang unik karena keduanya diwisuda bersama dengan menyandang gelar akademik yang sama yakni doktor.
Mereka itu adalah Dr Dra Sri Budi Lestari (59) dan putra sulungnya, Dr Budi Prasetyo (36). Keduanya adalah staf pengajar di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Sri Budi Lestari mengambil kuliah di Kajian Budaya dan Media. Sedangkan Budi Prasetyo kuliah di prodi Ilmu Lingkungan.
Ditemui seusai acara Wisuda, Sri Budi Lestari yang akrab dipanggil Ayie duduk di kursi roda. Ia ditemani suami, Didik Samadikun. Ayie menuturkan, sejak lima tahun terakhir, ia selalu menggunakan kursi roda dalam menjalankan aktivitasnya. Persisnya, sejak 1,5 tahun mengikuti kuliah S3 di UGM, Ayie tiba tiba jatuh sakit, otot paha bagian kanan tiba-tiba mengecil.
Dokter kemudian memvonisnya terkena penyakit demyelinisasi. Akibat penyakitnya itu, Ayie sempat untuk memutuskan berhenti melanjutkan pendidikan doktornya di UGM.
"Saya sempat berpikir berhenti, tapi anak dan suami terus memotivasi. Begitu juga promotor saya Prof Dr Suhartono, beliau terus memotivasi. Selalu mendukung dan mendorong saya untuk selesai kuliah. Kan cuma sakitnya di sini, yang lainnya sehat," kata ibu dari tiga anak ini menirukan ucapan sang promotor.
Wanita yang sudah memiliki lima cucu ini pun akhirnya bersemangat kembali menyelesaikan pendidikan S3 di UGM. Untuk mengikuti perkuliahan, Ayie selalu didampingi suami yang selalu mengantarkan kemanapun dia pergi. Suami sudah pensiun dari PNS di Pemprov Jawa Tengah.
Ayie mengaku sempat cuti selama satu semester akibat penyakitnya. Namun dia akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan doktor dalam waktu 6 tahun 4 bulan. Ayie mengaku ia juga tidak menyangka akan diwisuda bareng dengan anaknya. Dia justru bangga bisa menyelesaikan pendidikan doktor di usia yang tidak muda lagi.
Halaman 2 dari 6