Sore itu, Minggu (24/5/2015), Kadiyono menunggu bengkel tambal ban-nya. Tangannya membeber koran. Sesekali dahinya mengernyit.
"Dulu waktu saya pertama kuliah, cari nilai C itu sudah susahnya minta ampun. Sekarang sistem pendidikan sudah lebih mudah," kata Kadiyono kepada detikcom usai membaca berita jual beli ijazah.
"Saya (kuliah) tidak hanya cari ijazah," imbuh pria berkumis ini.
Kadiyono lulus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK) Semarang pada tahun 2001 dan Pascasarjana Manajemen Pendidikan di Univesitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tahun 2012. Ia bertempat tinggal di Jalan Pemuda 56 B, Dusun Jagalan, Desa Boja, Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah, bersama istri, satu putra, dan dua putrinya. Ia membuka lapak tambal ban di depan gang masuk rumahnya dengan peralatan sederhana dan kompresor tua.
Kadiyono berbincang dengan detikcom sambil melayani pelanggannya. Beberapa kali ia menyapa tetangga yang melintas. Gelar S2 yang sudah disandingnya tetap tidak membuat dirinya sombong. Pekerjaan tambal ban yang ia geluti sejak kecil tetap dilakukan.
"Berkat tambal ban ini saya bisa sekolah dan kuliah. Kompresor ini sudah lama menemani saya," ungkap anak kedua dari 8 bersaudara itu.
Di luar aktivitas menambal ban, Kadiyono mengajar di SMA PGRI Kendal. Pulang dari mengajar sekitar pukul 12.00 WIB, ia istirahat sebentar, lalu buka tambal ban sampai pukul 22.00 atau sampai 23.00.
Saat 'berdinas' di bengkel, penampilan Kadiyono sangat natural. Kaosnya lusuh penuh noda oli. Sandal slopnya warna hitam kusam. Tak dinyana, ia lulusan pascasarjana. Ijazah dan gelarnya tak didapatkan dengan mudah layaknya informasi jual beli ijazah yang ramai diberitakan belakangan ini.
(Angling Adhitya Purbaya/Triono Wahyu Sudibyo)