Ramai Jual Beli Ijazah, Simak Kisah Tukang Tambal Ban ini Rengkuh Gelar S-2

Ramai Jual Beli Ijazah, Simak Kisah Tukang Tambal Ban ini Rengkuh Gelar S-2

Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Senin, 25 Mei 2015 12:19 WIB
Kadiyono (Foto: Angling Adhitya P/detikcom)
Kendal - Berkaos penuh noda oli, lusuh, dan sepatu slop warna hitam, sepintas tidak ada yang istimewa dari sosok Kadiyono (46). Tapi jangan salah, penambal ban di Kendal ini ternyata lulusan program pascasarjana.

Bertempat tinggal di Jalan Pemuda 56 B, Dusun Jagalan RT 1 RW 1, Desa Boja, Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah, Kadiyono hidup bersama istri, satu putra, dan dua putrinya. Ia membuka lapak tambal ban di depan gang masuk rumahnya dengan peralatan sederhana dan kompresor tua.

"Saya sudah jadi tambal ban sejak usia 8 tahun. Waktu itu masih SD kelas 1 bantu-bantu bapak. Tempatnya dekat sini waktu dulu masih ada gedung bioskop," kata Kadiyono mengawali kisahnya kepada detikcom di bengkelnya, Minggu (24/5/2015).

Hasil membantu menambal ban digunakan Kadiyono untuk biaya sekolah hingga kuliah. Ia lulus SMA tahun 1989 dan melanjutkan kursus montir. Saat itu ia masih terbayang-bayang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

"Akhirnya saya bilang sama bapak saya, pak, aku tak sekolah meneh ya (pak, aku sekolah lagi ya)," ujar Kadiyono.

Dari hasil tambal ban, Kadiyono bisa masuk program sarjana Strata 1 di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK) Semarang jurusan Penerangan pada tahun 1990. Perjuangan Kadiyono di bangku kuliah tidak mudah, ia harus menempuh jarak lebih dari 80 km pergi pulang.

Tahun 1994, ada perubahan kurikulum pendidikan dan membuat Kadiyono kesulitan. Keinginannya meraih gelar S-1 meredup. Ia memilih vakum dan bekerja di proyek namun tetap menambal ban hingga akhirnya menikahi Mutmainah tahun 1998. Tahun 2000, kampusnya melayangkan surat menanyakan apakah akan melanjutkan pendidikannya atau tidak. Tentu saja hal itu tidak disia-siakan.

Kadiyono lulus tahun 2001. Ia mendapat tawaran menjadi guru di SD Muhammadiyah Boja yang kala itu baru berdiri. Enam bulan kemudian ia didapuk menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut. Namun tetap saja Kadiyono tidak meninggalkan usaha tambal bannya.

Tahun 2008, Kadiyono mendapat tunjangan sertifikasi guru. Dua tahun kemudian, dengan seizin keluarga, ia melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi di Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) di jurusan Manajemen Pendidikan.

Demi meraih gelar S2-nya, Kadiyono terpaksa melepas pekerjaannya di SD Muhammadiyah karena pihak yayasan memintanya bekerja dari Senin hingga Sabtu. Selama 14 bulan menempuh pendidikan di UMS, akhirnya Kadiyono lulus. Kemudian, ia mengajar di berbagai sekolah, termasuk SLB Surya di Limbangan, Boja. Dari gaji mengajar dan usaha tambal ban, ia menafkahi keluarga dan membiayai kuliah.

"Ya saya hidupnya dari kayak gini. Honor saya itu misal di SMA Rp 62.800 per bulan, ngajarnya hari Rabu dan Kamis itungannya per jam," kata Kadiyono sambil mengencangkan mur di ban mobil pelanggannya.

Kadiyono juga pernah menjadi tutor di Universitas Terbuka Mangkang dan mengajar Pendidikan Agama Islam di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang. Kegiatan mengajar yang dilakoni hingga saat ini adalah di SMA PGRI.

"Saya ngajar sampai pukul 11.00, sampai rumah pukul 12.15 terus istirahat sebentar. Buka tambal ban sampai pukul 22.00 atau sampai 23.00," tutup pria berkumis itu.

(Triono Wahyu Sudibyo/Nurul Hidayati)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads