Upaya untuk mendorong diakuinya dwi kewarganegaraan secara lebih luas dilakukan oleh Indonesian Diaspora Network (IDN), sebuah organisasi yang mewadahi diaspora Indonesia di luar negeri. Untuk itu, mereka mendorong direvisinya UU No. 12/2006.
"Saat ini konsepsinya telah masuk ke Program Legislasi Nasional atau Prolegnas. Prosesnya memang akan memakan waktu panjang. Kita sedang dalam tahap mencoba menyusun naskah akademis RUU revisi tersebut," kata Presiden IDN Mohamad Al-Arif dalam diskusi 'Dwi Kewarganegaraan dan Potensi Diaspora Indonesia' yang digelar oleh IDN di KBRI Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (20/5/2015).
Bertindak selaku pembicara pada diskusi tersebut adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Kepala Desk Diaspora Indonesia M Wahid Supriyadi, dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Satya Arinanto. Sementara Arif berperan sebagai moderator.
Perjalanan mengupayakan dwi kewarganegaraan sepertinya memang masih panjang. Meski sudah masuk Prolegnas, belum ada kepastian kapan RUU tersebut akan dibahas oleh DPR mengingat Prolegnas memiliki rentang waktu 5 tahun (2014-2019).
"Benar sudah masuk dalam Prolegnas, tapi masih dalam long-list. Maksudnya adalah masuk ke dalam program 5 tahun," kata Menkum HAM Yasonna Laoly.
Langkah selanjutnya, kata dia, adalah bagaimana memasukkan RUU tersebut ke dalam agenda pembahasan di tahun tertentu. Dalam hal ini ada dua pilihan jalur yang bisa dilewati, yaitu jalur Pemerintah atau jalur DPR.
"Saya sarankan sebaiknya melalui pintu DPR. Itu akan lebih mudah. Kalau dari pemerintah, perdebatan inter-kementerian sering alot," terang mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Jika DPR setuju, RUU tersebut akan melewati Badan Legislasi (Baleg), kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk dijadikan inisiatif. Setelah itu DPR akan mengirimkannya ke Presiden. Selanjutnya Presiden akan menunjuk instansi terkait untuk membahasnya bersama DPR.
Yasonna menegaskan, tantangan yang akan dihadapi dalam upaya tersebut tidak mudah karena dwi kewarganegaraan merupakan isu sensitif.
"Saya harus jujur mengatakan bahwa ini suatu perjuangan yang berat. Saya tidak berpretensi mengatakan besok lusa akan langsung bisa, tapi diperlukan suatu kerja sama yang baik dan melalui tahapan-tahapan yang harus dilakukan dengan benar dan berdasarkan undang-undang," tutur Yasonna.
Resistensi dilatarbelakangi oleh berbagai alasan. Dari segi keamanan ada kekhawatiran bahwa kewarganegaraan ganda bisa mendatangkan potensi bahaya bagi Indonesia. "Teman-teman dari Polri dan BIN memandangnya dari aspek keamanan," kata Yasonna.
Aspek lain yang lebih mendasar, lanjutnya, adalah soal nasionalisme yang bercampur sentimen. Orang Indonesia yang melepas kewarganegaraannya demi mendapatkan kewarganegaran lain dianggap pragmatis dan tidak nasionalis. Memberi mereka kewarganegaraan ganda sama saja dengan memanjakan egoisme mereka.
"Bagi saudara kita di indonesia, masih sebagian kecil yang pernah bepergian ke luar negeri jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Mereka melihat masa cuma diambil enaknya saja. Dalam pandangan mereka kok nggak ada nasionalismenya. Mengapa dilepaskan itu kewarganegaraannya?" tutur Yasonna.
Oleh karena itu, imbuhnya, adalah amat penting untuk meyakinkan publik bahwa kewarganegaraan ganda akan memberikan maslahat bagi bangsa dan negara secara lebih besar, bukan semata-mata menguntungkan sebagian kecil warga Indonesia yang punya kesempatan tinggal di luar negeri.
"Harus bisa dijelaskan dengan baik bahwa ini dilakukan juga untuk kepentingan bangsa, dan diaspora Indonesia akan bisa berkontribusi dengan baik kepada bangsa dengan cara seperti ini," tutur Yasonna.
Penjelasan itu perlu disertai data dan fakta yang akurat. Misalnya, berapa jumlah WNI di luar negeri dan apa potensi yang bisa mereka sumbangkan untuk Indonesia seandainya mereka diberi kewarganegaraan ganda. Tanpa argumen yang kuat, besar kemungkinan RUU tersebut ditolak DPR. "Jangan dimasukkan kalau belum siap, nanti akan ditolak," saran Yasonna.
Dari perspektif diaspora, pilihan untuk melepas atau mempertahankan kewarganegaraan Indonesia seringkali dilematis. Misalnya, ada jenis pekerjaan tertentu di luar negeri yang mensyaratkan seseorang untuk menjadi warga negara setempat. Hal itu menyebabkan yang bersangkutan terpaksa melepas statusnya sebagai warga negara Indonesia, meski sejatinya dia masih mencintai Indonesia dan ingin mengabdi buat Indonesia.
Dalam konteks itu, maka dwi kewarganegaraan yang diusung oleh IDN adalah guna memberikan kesempatan bagi orang Indonesia untuk berkembang di luar negeri sembari tetap mempertahankan keindonesiaannya.
"Dwi kewarganegaraan yang diusung oleh Diaspora adalah untuk mempertahankan keindonesiaan seseorang, bukan untuk mengindonesiakan orang asing," kata Arif.
Contoh lain adalah seorang anak keturunan Indonesia yang lahir di negara lain yang menganut ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir). Menurut UU Kewarganegaraaan, di usia 18 tahun anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan, padahal sebenarnya dia tidak ingin kehilangan keindonesiaannya.
"Kita ingin anak tersebut tidak harus memilih dan bisa mendapatkan kedua-duanya, mempertahankan keindonesiaannya," ucap Arif.
Menurut Wahid Supriyadi, dwi kewarganegaraan berperan penting dalam mengoptimalkan peran diaspora Indonesia di luar negeri guna memberi manfaat bagi Indonesia. Belajar dari negara lain, peran diaspora dapat membantu suatu negara dalam proses pembangunannya. Tiongkok misalnya.
"Tiongkok adalah negara yang paling sadar bagaimana memanfaatkan diaspora. Ketika mereka mulai membuka diri tahun 1979, yang pertama digarap adalah potensi diaspora. Selama dua puluh tahun pertama pembangunan Tiongkok, ada USD307 milar investasi yang masuk, dan 50 persennya dari diaspora," tutur pria yang juga menjabat sebagai Staf Ahil Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya di Kementerian Luar Negeri ini.
Potensi lain, menurut Prof. Satya Arinanto, adalah human capital. "Mereka yang sudah lama tinggal di luar negeri punya kemampuan luar biasa yang bisa membantu pembangunan di dalam negeri. Mereka punya skills dan jaringan. Itu semua bisa membantu Indonesia lebih maju," ujarnya.
Dia menambahkan, dari 44 negara yang saat ini telah menerapkan dwi kewarganegaraan, bisa ditarik pelajaran bahwa aturan tersebut mendatangkan manfaat bagi negara yang bersangkutan.
"Strategi extended nations ini terbukti membawa hasil. Negara-negara yang menerapkan dwi kewarganegaraan memperoleh remitansi 78 persen lebih banyak ketimbang mereka yang tidak menerapkan dwi kewrganegaran," tuturnya.
Dari penelusuran detikcom, praktik dwi kewarganegaraan memang sudah dilakukan di banyak negara. Di antara yang menerapkan adalah Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Australia, Korea Selatan, dan Filipina. Sedangkan negara-negara seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Thailand tidak mengakui kewarganegaraan ganda.
Upaya menggolkan aturan tersebut di Indonesia memang masih panjang. Oleh karena itu, sembari proses yang panjang itu dijalani, Pemerintah memberikan solusi sementara dengan merevisi PP No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian guna memperpanjang izin tinggal.
"Tahap awalnya adalah kami merevisi Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2013 untuk memperpanjang izin tinggal visa multiple visit, yang dalam rencana ini diperpanjang menjadi 5 tahun. Ini untuk memudahkan, dan ini short-term goal. Kita targetkan bulan Agustus tahun ini revisinya sudah selesai," kata Yasonna.
Dalam PP tersebut disebutkan bahwa izin tinggal adalah izin yang diberikan kepada orang asing untuk berada di wilayah Indonesia. Kepada orang asing bekas warga negara Indonesia dapat diberikan izin tinggal terbatas selama dua tahun dan sesudah itu dapat diperpanjang kembali. Setiap perpanjangan tidak boleh melebihi dua tahun, dan secara total izin tinggal terbatas tidak boleh lebih dari enam tahun.
(Triono Wahyu Sudibyo/Triono Wahyu Sudibyo)