John Sakava dari Surabaya, Pemburu Teroris Berhaluan Marxis

Kisah Para Mantan Intel

John Sakava dari Surabaya, Pemburu Teroris Berhaluan Marxis

Sudrajat - detikNews
Senin, 18 Mei 2015 16:04 WIB
Yahya Assegaf (Foto - detikcom)
Jakarta - Mantan perwira intelijen lainnya yang juga menerbitkan biografi adalah Yahya Asegaf. Buku berjudul, 'John Sakava, Lika-liku Perjalanan Mantan Staf Khusus Kepala BIN' itu dirilis akhir April lalu. Pada 2013, buku ini pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan dijual via online lewat Amazon.

Kiprah Yahya sebagai perwira telik sandi tak hanya di Indonesia, melainkan banyak malang melintang hingga negara-negara di Timur Tengah. Bagaimana kisahnya?

Petualangan Yahya Assegaf di negara-negara Timur Tengah bermula saat pertemuannya dengan sang ayah di Yaman. Selama bertualang, lelaki kelahiran Surabaya, 20 Mei 1938 itu sempat menjadi guru dan wartawan.

Obsesinya semasa kecil untuk menjadi tentara mengantar dia ke sekolah militer Inggris di Yaman, dan mengikuti pelatihan perang gerilya di Uni Soviet.

Yahya akhirnya menjadi agen intelijen untuk Kerajaan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. John Sakava adalah salah satu nama samaran yang digunakannya sebagai agen. Ia turut mendirikan Front Pembebasan Yaman Selatan (NLF), dan memburu para teroris berhaluan marxis.

β€œSaya bisa bergerak lebih leluasa di sarang-sarang komunis dengan menyamar sebagai pengungsi Partai Komunis Indonesia,” kata Yahya dalam memoar bertajuk β€œJohn Sakava, Lika-liku Perjalanan Mantan Staf Khusus Kepala BIN” yang dikutip detikcom, Senin (18/5/2015).

Yahya pernah menjadi satu-satunya penerima beasiswa untuk sekolah militer di kerajaan Irak pada akhir 1957. Hanya saja beasiswa itu dibekukan menyusul kudeta di negeri seribu satu malam itu. Kadung ingin sekolah ke luar negeri, ia akhirnya menerima beasiswa dari Al-Azhar, Mesir.

Dengan kapal laut, pada 1958 ia berangkat bersama Quraish Shihab, Alwi Shihab, Najib Wahab (kakak Shinta Nuriyah, isteri Gus Dur), dan Fadoli (pengasuh pondok pesantren moderen Gontor). Beberapa bulan berselang, turut menyusul ke Kairo, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

β€œSaya ambil jurusan filsafat tapi tak tamat. Di tahun ketiga saya mundur karena bosan tak ada diskusi. Di Al-Azhar itu cuma menghapal,” kata Yahya.

Kisah lengkap Yahya dan kiprahnya di dunia intelijen bisa dibaca di Majalah Detik edisi 181 pekan ini.



(Erwin Dariyanto/Triono Wahyu Sudibyo)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads