Ratusan anak buah kapal asing yang diduga menjadi korban perbudakan dipulangkan ke negeri asal mereka. Namun, permasalahan tidak selesai sampai di situ, warga lokal yang selama ini membantu kehidupan para ABK menagih utang yang tidak sedikit. Lalu, siapa menanggung utang tersebut?
Gelombang pertama pemulangan para ABK tersebut berjumlah 300-an lebih dan berlangsung dua pekan lalu. Data terbaru, terdapat 840 ABK asing yang terdata di Benjina. Mereka adalah yang menetap dan memilih menikah dengan warga lokal di Pulau Benjina, sebuah pulau yang masuk dalam wilayah Kepulauan Aru.
Belum diketahui persis apakah jumlah tersebut menginginkan meninggalkan Benjina dan pulang ke negeri asal mereka atau justru menetap di pulau tersebut. Pihak dari lembaga nonprofit IOM dan pemerintah saat ini melakukan pendataan terhadap warga asing yang ada di Benjina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Utang yang tercatat di warga setempat tidaklah sedikit. Dari mulai ratusan ribu, belasan juta, "Bahkan ada yang mencapai Rp 100 juta," kata salah seorang perwakilan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), saat briefing dengan perwakilan IOM, kedutaan Kamboja, dan perwakilan dari IOM Thailand, di Dobo, Kepulauan Aru, Minggu (17/5/2015).
"Situasi di Benjina tidaklah bagus, ketika kita bawa mereka ke Tual (12 jam dari Benjina dengan menggunakan Feri) , warga marah, bagaimana dengan hutang kami," kata Turman Hardianto, Kepala Sub Direktorat Pengawasan Penangkapan Ikan wilayah Timur Direktorat PSDP Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, di tempat sama.
Cerita serupa juga dialami Kepala Unit kejahatan Perdagangan Orang Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim, AKBP Arie Dharmanto. Saat itu dia dan 12 orang penyidik dari Bareskrim turun langsung ke Benjina untuk melakukan pemeriksaan.
Namun, baru saja turun dari kapal mereka dikejutkan dengan banyaknya kaum ibu yang mendatangi mereka. "Mereka senang karena kami dikira orang-orang yang akan menjemput para ABK asing tersebut dan membayar utang-utang para ABK," cerita Arie saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
Namun, Arie dan beberapa penyidik lainnya akhirnya menjelaskan maksud kedatangan mereka ke Benjina. "Walau mereka sempat kecewa, tapi akhirnya memahami," ujarnya.
Kapolres Kepulauan Aru, AKBP Harold Wilson Huwae, di hadapan perwakilan IOM mengatakan persoalan utang para ABK seharusnya menjadi tanggungjawab perusahaan. Karena selama ini para ABK yang nasibnya ditelantarkan tanpa menerima upah layak dari perusahaan mereka bekerja.
Namun, kata Harold, pihak perusahaan malah lepas tanggungjawab soal itu, "Bahkan mereka cerita kalau mereka pernah minta warga di Benjina tidak memberikan utang kepada para ABK, tapi tidak digubris warga, maka dari itu mereka menolak bertanggungjawab," kata Harold.
Perwakilan IOM sempat menanyakan kepada Harold terkait kemungkinan retistusi muatan dari dua kapal yang disita kepolisian terkait kejahatan perdagangan orang. Muatan ikan seberat kurang lebih 300 ton itu diharapkan dapat membantu pembayaran utang para ABK.
"Soal itu bukan kewenangan polisi, kami hanya menyita kapal-kapal yang menjadi bukti TPPO (tindak pidana perdagangan orang)," ujarnya. Menambahkan, kewenangan penyidikan terkait ikan hasil tangkapan tersebut ada di pihak PSDKP.
Meski demikian, kepolisian sigap mengantisipasi ikan-ikan tersebut hancur dengan cara menyimpannya di coolroom PT PBR untuk kemudian bisa menjadi bahan penyelidikan KKP dan juga lelang untuk kemudian masuk ke kas negara.
Adapun dalam praktik perdangan orang melibatkan korporasi, negara berhak untuk menyita aset-aset perusahaan yang terbukti secara sah melakukan kejahatan tersebut.
"Ancamannya pencabutan izin usaha, sita aset untuk kembalikan aset kepada korban, sanksi administrasi," kata Kepala Unit Human Trafficking, AKBP Arie Dharmanto, di Mabes Polri, Rabu (13/5/2015).
Pasal berlapis pun menunggu pada pimpinan di Benjina bila ada indikasi kuat melakukan kejahatan perdagangan orang. "Jika ada dugaan dari pimpinan, maka bisa kita kenakan pasal berlapis," ujarnya,
Dalam pasal 15 ayat 2 Undang-undang 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), disebutkan beberapa sanksi yang dapat diberikan kepada pihak korporasi bila terbukti terlibat perdagangan orang.
Sanksi tersebut mulai dari pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil kejahatan, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, sampai pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam badan usaha yang sama.
Dalam kasus ini penyidik telah menetapkan tujuh tersangka, mereka adalah dari pihak empat nahkoda kapal asal Thailand dan tiga orang dari perusahaan PBR.
Ketujuh orang itu adalah, Hatsaphon Phaetjakreng (nahkoda Kapal Antasena 141), Boonsom Jaika (Nahkoda Antasena 311), Hemanwir Martino (Pjs PT PBR Benjina), dan Mukhlis Ohoitenan (staf QC PT PBR).
Ada pula Surachai Maneephong (Nahkoda Antasena 142), dan Somchit Korraneesuk (Nahkoda Kapal Antasena 309). Sementara satu orang lainnya adalah Yongyut yang akan segera dilakukan pemanggilan sebagai tersangka karena nahkoda tersebut masih dalam proses hukum oleh PSDKP Tual.
Polisi menyita beberapa barang bukti, seperti 49 Seaman Book Thailand, 24 buah KTP warga negara Myanmar, catatan Anak Buah Kapal yang disekap, gembok dan kunci tempat penyekapan, dan lima unit kapal: Antasena 311, 141, 142, 309, dan Antasena 838. Para tersangka saat ini ditahan di Polres Aru.
Polisi telah memeriksa 50 orang yang diduga disekap dan menjadi korban perdagangan orang.
"50 orang untuk sampling, untuk diperiksa dan semuanya mengarah kepada upaya penyekapan oleh nakhoda," kata Arie.
(ahy/bar)